Berbagi Pengalaman
Kegagalan mencapai tujuan sering membuat kecewa, bahkan kecewa berat yang membuat kita
merasa sangat tertekan. Seperti yang dialami Umi Warda di Bandung. Ia berkenan untuk berbagi
pengalaman, berbagi rahasia pribadinya dengan kita semua. Sebuah kejujuran dan keberanian
yang patut dipuji. Berikut sepenggal kisah pengalamannya:
|
Manic Depressive atau Bipolar Itu...
Saya memberanikan diri menulis pengalaman pribadi ini. Walaupun seperti dibilang di website
www.sivalintar.tk, ini mengandung resiko membuka hal yang rahasia dan mungkin akan membuat
saya tercap stigma "gangguan jiwa" atau semacam itu.
Anyway, saya mengalami "depresi terselubung" sejak sekitar 10 tahunan yang lalu... dan
berpuncak pada kondisi sekarang saya yang hidup dengan manic depressive alias bipolar...
Dan, saat ini, saya baru saja "turun" dari kondisi manic, suatu kutub dari "bipolar"
yang kalau sudah "turun" begini, apa yang dikatakan pada orang dan apa yang dilakukan pada
saat manic itu, aneh, dan banyak yang membuat diri saya sendiri malu....dan mulailah saya
mau jatuh ke kutub satu lagi, yaitu depressive.
Yah, begitu, daripada saya depresi parah, saya memutuskan mencoba menulis ke www.sivalintar.tk,
karena saya kira ini akan lebih bermanfaat pada orang dan komunitas yang tepat. Selama ini, saya suka
menulis pada beberapa orang yang saya percaya, tapi, walaupun saya yakin akan dibaca, barangkali
akan lebih bermanfaat jika dikirim ke website semacam ini. Thanks buat pembuat website ini...
Batasnya 1000 kata ya? hmm... mungkin jadi semacam sinopsis saja, karena kalau diceritakan
lengkap bisa jadi buku kali ya... atau jadi film mungkin, he.. he..
Saya didiagnosis manic depressive oleh seorang psikiater di Tokyo, akhir tahun 2000.
Sekarang saya di Indonesia, tapi waktu itu lagi tugas belajar di Tokyo. Awalnya sih mau
menyusul suami yang duluan tugas belajar... dan sekuat tenaga mencoba menyusul dengan separo
tujuannya untuk menyatukan keluarga.
Dan, alhamdulillah, saya bisa sekalian membawa anak saya yang masih umur dua tahun saat itu,
"menemani" saya dan (waktu itu) suami yang sama-sama belajar dengan beasiswa dari Jepang.
Tapi, o..o.. sebenarnya ada yang salah sejak semula dengan skenario itu... yaitu saya
sebenarnya tidak biasa melakukan segala sesuatu sendiri sejak saya masih anak-anak.
Maklum, di Indonesia saya dan keluarga biasa ditemani pembantu. Di Tokyo, bisa sih punya
pembantu plus babby sitter, tapi, bayarannya 2000 Yen (sekitar Rp. 140.000,-) per jam !...
he.. he.. nggak mungkin lah...
So, sebenarnya, beban pekerjaan rumah tangga dan sekolah plus mengurus anak itu jelas
terlalu berat buat saya..eh, kami. Ditambah penyesuaian budaya, dan juga—sebenarnya—
masalah internal rumah tangga serta "depresi terselubung" yang belakangan baru saya sadari.
Hanya dua tahun saya di Tokyo, dan sekitar satu bulan setelah diagnosis, saya mengalami
kondisi manic yang pertama atau yang disebut onset dalam istilah psikiatrik (populer).
Sebenarnya sejak awal di Tokyo saya sudah merasakan "gelombang" mood yang tidak biasa dan
mengganggu. Bisa tidak tidur selama 2 atau 3 hari, dan bisa sangat banyak tidur selama 2
sampai 3 hari juga. Saya sudah berusaha cerita ke beberapa teman dekat, termasuk ekses
gejala ini pada pergaulan saya di sekolah... tapi, pada akhirnya saya menyimpulkan, saya
harus ke psikiater, dan saya memutuskan ke psikiater di klinik sekolah saya waktu itu.
Saya menutup rapat ini dari keluarga di Indonesia, karena pertama saya tidak ingin
merepotkan, kedua saya tidak tahu bahwa hal ini bisa sangat membuat berantakan
rencana-rencana dalam hidup saya.
Dan, saya benar-benar tidak siap secara psikologis ketika penyakit ini membuat saya tidak
dapat menyelesaikan sekolah (yang dengan beasiswa itu), harus pulang ke Indonesia dalam
keadaan manic sehingga harus terus dirawat sampai mencapai—pada akhirnya setelah
beberapa kali jatuh bangun—posisi "netral" untuk melanjutkan sekolah di Indonesia.
Lalu, saya harus menghadapi tuntutan cerai dari (waktu itu) suami... Saya dan keluarga
merasa ini kejam... terutama masalah "timing"-nya. Tapi, sudahlah, hanya, saya sering
merasa kok tega sekali mereka itu, seperti tidak pernah jadi keluarga saja... Jadi, sekarang
sih saya memilih untuk tidak kontak saja dengan mereka, termasuk mereka tidak boleh kontak
dengan anak saya, soalnya, istilah saya sih, "bikin ribet aja..."
Jadi, begitu pembaca, sampai sekarang saya masih harus berjuang dengan penyakit saya, yang
memiliki nama "bipolar" atau manic depressive itu. Walaupun buat kebanyakan orang penyakit
ini mungkin lebih dekat ke "gangguan jiwa", sebenarnya penyakit ini adalah penyakit "fisik"
juga, menyangkut terganggunya pelepasan hormon tertentu di otak. Seperti penyakit diabetes
yang berkaitan dengan insulin, ataupun mungkin Parkinson seperti yang diderita Muhammad Ali
maupun Michael J Fox.
Tapi, untuk kondisi saya, ada beberapa hal yang menurut saya sangat penting untuk menuju
kesembuhan atau minimal "kondisi terkendali dalam perawatan" serta "tetap produktif" seperti
misalnya para penderita diabetes kronis atau penderita darah tinggi kronis, yaitu:
- Ego saya, setelah semua "kegagalan" atau "kejatuhan" itu kok masih sebegitu tinggi.
Yang jelas, memang harus diakui, bahwa sepanjang hidup saya sejak kanak-kanak sampai meraih
sarjana, saya bisa dibilang jarang gagal secara akademik. Jadi, kegagalan meraih gelar di
Tokyo itu (walaupun kemudian berhasil meraih gelar di Indonesia), pukulan sangat hebat buat
ego saya, karena saya memang jarang gagal, dan terlalu mengkaitkan hal seperti ini dengan
"harga diri" saya. Sementara, secara pribadi sebagai wanita, sebenarnya saya
sering merasa "minder". Istilah mudahnya, saya sering merasa "tidak menarik" sebagai seorang
wanita. Ini problem saya sejak remaja.
- Karena problem seperti pada No.1 itu, saya jadi "angkuh", padahal minder, dalam
pengertian, nggak mau mendengar pendapat orang. Belum lagi susah menerima kenyataan bahwa
sebenarnya saat ini saya banyak memiliki kebiasaan jelek. Tidak disiplin, peragu, nggak
percaya diri, kurang kerja keras, dsb.
Mungkin masalahnya adalah, saya terlalu mengaitkan "harga diri" dengan "gagal dan sukses"
saya dalam pekerjaan maupun kehidupan sehari-hari.
Saya baru sebatas "tahu" dari psikologi maupun psikiatrik dan tentu ajaran agama, bahwa
"saya berharga sebagai diri saya" lengkap dengan seluruh kegagalan dan kesuksesan saya.
Menginternalisasi ini menjadi sebuah sikap ternyata bukan hal yang mudah.
Saat ini saya berada pada posisi "phobi" dengan kegagalan, sehingga takut melakukan "usaha"
atau "ikhtiar". Padahal saya sedang berusaha melanjutkan sekolah lagi dengan beberapa
komitmen. Saya nggak mau jadi orang yang tidak bertanggung jawab, tapi, tiap kali mau
mengerjakan tugas, baru ingat aja udah sakit perut.
Ngambil buku, mual... Berusaha baca, nggak bisa konsentrasi...
Jadi, begitulah, saya memang harus terus berjuang. Dan, saya menganggap, menulis inipun
adalah bagian dari terapi alias perjuangan ini.
Bandung, Akhir Desember 2004
Umi Warda
Jika anda ingin memberi komentar, saran, tanggapan atau ingin berkomunikasi langung dengan
Umi Warda, silahkan kirim e-mail ke: info@sivalintar.com.
E-mail dan alamat lengkap Umi Warda ada di redaksi sivalintar.com.
| |
|
|