Kondisi Jiwaku Makin Memburuk
"Dulu waktu di SMP, setahuku kamu teh pintar dan selalu juara kelas, bahkan juara
umum. Tapi sekarang mah kamu jadi seperti ini, mengapa
sih?"—Syarif, Teman sekelas di SMA.
|
Siklus bipolar terus berulang-ulang dengan intesitas tekanan yang semakin kuat,
seperti lingkaran setan yang tak berujung. Kondisi kejiwaanku yang terus memburuk, sangat
mempengaruhi aktivitas sehari-hariku di rumah maupun di sekolah. Semester kedua di SMA
prestasi belajarku mulai menurun, aku hanya meraih rangking 4 dari 46 siswa. Kondisi
kejiwaanku makin memburuk, suasana hatiku semakin tak terkendali. Kepercayaan diriku
yang rendah serta ketidak mampuanku bergaul menambah beban berat pikiranku. Kondisi
fisikku pun mulai terganggu. Aku mulai sering sakit-sakitan, sakit yang tak jelas sakit
apa. Sakit fisik yang disebabkan oleh kondisi psikisku yang tak menentu. Aku berusaha
sekuat tenaga mengatasi dan mengendalikan segala macam gejolak perasaan yang terus
menggerogoti jiwa dan ragaku. Namun, walaupun sedikitnya aku sudah tahu apa
yang terjadi dengan diriku dan bagaimana cara mengatasinya, dalam praktiknya ternyata
tidak mudah, bahkan sangat salit. Kondisi kejiwaanku tak kunjung membaik.
Siswa Bodoh yang Pemalas dan Suka Nyontek
Memasuki kelas dua SMA, prestasi akademisku makin terpuruk, bahkan hancur-hancuran.
Sekarang aku bukan lagi anak pandai yang selalu juara kelas, tapi aku sudah berubah
drastis menjadi anak bodoh dan pemalas yang sering mendapatkan nilai 3 dan 4 saat tes.
Saat belajar di ruang kelas, aku sama sekali tidak bisa konstrasi. Aku malah sering
tidur saat guru sedang mengajar. Aku tak bisa mencerna materi-materi pelajaran yang
disampaikan para guru di ruang kelas. Sejak itu aku mulai sering nyontek saat tes. Aku
juga jarang mengerjakan pekerjaan rumah (PR) karena di rumah pun aku juga tak bisa
konsentrasi belajar. Ujung-ujungnya ya, nyontek lagi—kebiasaan buruk yang sangat aku
benci saat di SMP dulu—walaupun sebenarnya aku sangat malu melakukannya.
Aku suka sedih jika ingat prestasiku di SMP dulu. Aku selalu bahagia saat kenaikan kelas,
karena aku selalu menjadi yang terbaik. Kini masa bahagia itu sudah berlalu. Aku sudah
berubah manjadi siswa yang bodoh, pemalas, suka nyontek, suka tidur saat belajar, dan
sering datang terlambat ke sekolah, bahkan pernah beberapa kali bolos sekolah. Syarifudin,
teman sekelasku (juga teman beda kelas waktu di SMP) sering nyeletuk sambil memandang heran
padaku, "Dulu waktu di SMP, setahuku kamu teh pintar dan selalu juara kelas, bahkan juara
umum. Tapi sekarang mah kamu jadi seperti ini, mengapa sih?" Aku hanya tersenyum getir
menanggapi pertanyaannya. Ingin menangis rasanya mendengar pertanyaan seperti itu. Tak
salah pengamatan temanku itu, aku memang sudah banyak berubah. Semester 3 rangkingku
anjlok ke urutan 34 dari 39 siswa. Prestasi terburuk yang bahkan tak pernah aku bayangkan
sebelumnya. Itu berarti aku menjadi siswa paling bodoh ke-6 di kelas. Dengan nilai raport
dan rangking sejelek itu aku sampai khawatir jangan-jangan aku tidak naik kelas.
Jika episode depresi datang, berada di ruang kelas benar-benar merupakan siksaan bagiku,
aku tak mampu menyerap dan mencerna materi-materi pelajaran yang disampaikan para guru.
Apalagi jika diberi tugas mengerjakan soal, aku sama sekali tidak bisa berpikir. Otakku
seperti beku, lidahku seperti kelu, dan tubuhku seperti kaku. Pernah suatu hari ada tes
mata pelajaran matematika, aku bingung karena sama sekali tidak bisa mengerjakan soal
yang sebenarnya tidak terlalu sulit. Sampai waktu habis, tak satu pun soal yang bisa
aku kerjakan. Sering aku menghadapi situasi seperti itu. Jika sudah demikian yang aku
pikirkan hanya ingin jam belajar segera berakhir dan aku bisa secepatnya pulang.
Aku suka sedih jika membuka buku-buku catatanku yang acak-acakan tak karuan. Padahal
waktu di SMP dulu, buku-buku catatanku begitu rapi dan lengkap. Aku baca, aku pelajari,
dan aku pahami isinya dengan baik, sehingga saat tes aku hampir selalu mendapat nilai
tertinggi. Sekarang nilai-nilai tesku sangat jelek, sejelek buku-buku catatanku.
Saat jam istirahat tiba aku lebih suka menyendiri bersembunyi di belakang sekolah, aku
tak ingin bertemu dan berbicara dengan siapa pun. Karena dengan suasana hati yang tak
menentu serta kekacauan emosi yang tak terkendali, aku sering bingung harus ngomong apa
jika berhadapan dengan teman atau siapa saja. Aku tak bisa menata pikiranku sendiri,
aku tak mampu menyusun kata-kata dan merangkai kalimat yang tepat untuk diucapkan.
Kalaupun dipaksakan yang terucap hanya kalimat-kalimat pendek yang kadang tidak relevan
dengan tema obrolan. Keadaan ini membuatku semakin ragu, malu dan kurang berani bicara
di depan teman-temanku. Bahkan pada situasi tertentu aku sering gagap bicara. Saat
berhadapan dengan seseorang terutama teman, aku khawatir mereka akan memandang aneh
dengan sikapku, kata-kata, nada biacara, raut muka serta gerak-gerikku.
Perpustakaan sekolah adalah salah satu 'tempat persembunyiaku'. Di perpustakaan aku punya
alasan untuk tidak berbicara dengan siapa pun. Kadang jam istirahat aku habiskan di
perpustakaan, membaca buku-buku dan majalah yang jumlahnya tidak seberapa dan sudah tampak
kumal. Dengan membaca, selain menambah pengetahuan dan memperluas wawasan, aku merasa
suasana hatiku sedikit tenang.
Aku baru merasa sedikit lega saat jam belajar usai. Keluar dari sekolah, kalau tidak naik
angkutan umum biasanya aku pulang jalan kaki bersama teman-teman sekampungku. Dalam
perjalan pulang, saat teman-temanku ngobrol dan bercanda, menceritakan pengalaman belajar
masing-masing hari itu, aku hanya diam membisu, bingung harus ngomong apa. Kadang tak
sepatah kata pun terucap dari bibirku sampai aku tiba di rumah. Mungkin teman-temanku
memandang aneh sikap dan gerak-gerikku, tapi mungkin juga mereka sama sekali tak peduli
dengan keadaanku.
Aktivitas Sepulang Sekolah
Tiba di rumah hari sudah petang mnjelang maghrib. Dengan malas aku segera mandi dan makan.
Selera makanku hilang sama sekali, tak ada satu pun masakan yang mampu membangkitkan selera
makanku. Saat adzan magrib berkumandang seperti biasa aku segera pergi ke mesjid. Ke
mesjid pun sebenarnya aku malas, aku enggan bertemu orang-orang. Di Mesjid aku berusaha
menenangkan pikiran, meredam dan mengendalikan suasana hati yang tak menentu dengan membaca
Al-qur'an, berdzikir dan berdo`a. Saat orang lain pulang, aku masih duduk di mesjid,
meneruskan berdo`a dan berdzikir, mencurahkan isi hati di hadapan-Nya, menumpahkan beban
berat yang menggelayuti pikiran. Tak terasa air mata meleleh membasahi wajahku, tak jarang
diiringi isak tangis yang tertahan karena aku tak ingin orang lain tahu keadaanku, kelainan
jiwaku. Saat berdo`a dan berdzikir aku merasa ada yang mau mendengar keluh-kesahku, ada
yang bisa memahamiku, ada tempat berpegang dan yang terpenting ada harapan. Aku selalu
berharap Tuhan akan menolongku, membebaskanku dari derita jiwa yang terasa semakin berat,
mengembalikan kesadaran dan akal sehatku, mengembalikan kepercayaan diriku dan mengembalikan
kebahagiaanku.
Sepulang dari Mesjid, kalau tidak nonton tv biasanya aku mengurung diri di kamar. Aku
berusaha memejamkan mata untuk melupakan segala pikiran dan perasaan tak menentu yang
berkecamuk di benakku. Saat tidur aku bisa melupakan sejenak gejolak perasaan dan segala
keruwetan pikiran. Namun, dalam tidur pun aku sebenarnya tidak bisa tenang, karena
mimpi-mimpi buruk selalu datang dalam tidurku. Aku tak pernah bisa benar-benar tidur
pulas. Dalam semalam aku sering terbangun beberapa kali.
Namun gelapnya malam tak segelap
dan sepekat suasana hatiku. Sering aku berharap-setengah berkhayal-malam tak segera
berlalu dan pagi hari tak cepat datang, karena aku ingin melanjutkan tidurku. Aku berharap
jarum jam akan berhenti berputar dan baru berputar kembali setelah kondisi jiwaku pulih.
Aku tak ingin melakukan apa pun, aku tak ingin pergi kemana pun, aku tak ingin bertemu dan
berbicara dengan siapa pun, aku tak ingin orang-orang tahu aku sakit. Dan aku tak ingin
orang-orang, teman, sahabat dan keluargaku sendiri memandang aneh padaku, karena aku tak
mampu lagi menyembunyikan gejolak perasaanku. Aku tak mampu lagi menata dan mengendalikan
suasana hatiku sendiri, tak mampu lagi mengendalikan sikap dan tindakanku sendiri. Namun
waktu tak pernah dan tak akan pernah mau kompromi dengan siapa pun. Jarum jam tak akan
pernah mau berhenti barang sedetik pun! Kehidupan akan terus berjalan bagaimanapun dan
seperti apa pun keadaanku.
Saat berada di puncak kecemasan dan kegalauan, aku suka menuangkan gejolak perasaanku dalam
lembaran-lembaran buku harian.
Berikut aku kutipkan rekaman perasaanku di buku harian:
Catatan Harian
Catatan harian ini aku tulis saat aku berada di puncak manic depressive.
2 Agustus 1991
Hidup penuh dengan tantangan dan rintangan. Namun dengan adanya tantangan akan merangsang
diri kita untuk menghadapi dan mencari jalan keluarnya, lalu menyelesaikannya. Apabila
kita berhasil menyelesaikannya, kita akan merasa puas dan bahagia. Hal itu akan menambah
kematangan jiwa dan kepribadian kita. Untuk menghadapi tantangan hidup harus!
Tidak bisa tidak! Punya keyakinan pada diri sendiri dan keyakinan pada kekuasan Tuhan.
Saat ini aku sedang menghadapi tantangan hidup yang menurutku paling berat selama hidup
yang telah kujalani. Diriku seakan terbawa arus sungai yang sangat deras. Aku
terombang-ambing, muncul dan tenggelam, terkait ranting, tergores duri dan terbentur batu.
Pakaianku robek dan koyak, tubuhku penuh luka. Sesekali aku berusaha untuk meraih akar,
pepohonan, batu, tapi semuanya rapuh! Tak ada yang bisa menolongku! Semua orang tak
peduli, tak mengerti keadaanku. Semua orang tak ada yang bisa menolongku.
Dan sekarang aku harus berusaha sendiri, dengan kekuatan sendiri untuk menghadapi
penderitaan dan tantangan hidup yang ada di hadapanku.
Hanya kepada Engkaulah ya Allah, aku memohon pertolongan.
|
|
|
Aku sadar, aku tak bisa hanya berbaring di atas tempat tidur, menyesali diri, meratapi
nasib, mempersilahkan Tuhan dan mengharap keajaiban datang. Dengan segala kepedihan dan
derita jiwa yang terasa semakin berat, membenamkan diriku semakin dalam, aku harus tetap
melangkah dan terus melangkah, melanjutkan perjalanan hidupku. Walaupun harapan mulai
meredup, masa depan tampak semakin kabur, dengan semangat yang tersisa, dengan akal sehat
yang masih ada , aku bangun untuk memulai aktivitas sehari-hariku, melaksanakan tugas
utamaku yaitu belajar dan bekerja.
Pagi-pagi aku harus sudah berangkat ke sawah atau kebun untuk membantu meringankan beban
pekerjaan orang tuaku yang bekerja membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga
dan untuk biaya sekolahku dan adikku. Agak siang setelah bekerja di sawah atau ladang,
aku pergi menyabit rumput untuk makanan domba-dombaku. Sebelum jam sebelas aku sudah harus
pulang, lalu mandi dan mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah menjelang tengah
hari. Aku biasanya berangkat ke sekolah bersama teman-teman sekampung yang kebetulan
sekolah di tempat yang sama. Kami jalan kaki sampai ke jalan raya, dari sana kami naik
angkutan umum sampai ke sekolah.
Begitulah, dalam suasana depresi berat aku menjalani aktivitas sehari-hariku di rumah
maupun di sekolah.
Ayahku adalah Teman dan Sahabatku
Dalam kondisi mental yang rapuh dan rentan seperti itu, hanya ada satu orang yang bisa
mengerti dan memahami keadaanku—walaupun tidak sepenuhnya—dialah ayahku. Ayahku juga
adalah teman dekatku, sahabatku, tempatku berbagi, tempatku curhat dan mengadu.
Kepadanyalah biasanya aku mencurahkan isi hati dan bercerita tentang segala hal yang
membebani pikiran dan perasaanku. Kalau sudah ngobrol, kami bisa sampai berjam-jam, bahkan
sering sampai larut malam. Ayah suka menceritakan pengalamannya sendiri dan pengalaman
orang lain sebagai bahan perbandingan.
Menghadapi anaknya yang menderita gangguan jiwa berat, tak tampak rasa bosan padanya untuk
memberi nasehat, dukungan dan dorongan semangat. Dengan sabar dan penuh perhatian ayah
mendengarkan keluh-kesahku. Setelah itu biasanya ayah akan memberikan saran dan
nasehat-nasihatnya yang menyejukan hati dengan panjang lebar. Pikiranku terasa lebih
ringan dan lebih tenang setelah aku berbagi cerita dan pengalaman dengan ayah, seakan-akan
sebagian beban pikiranku dialihkan ke pundaknya.
Salah Satu Kutub Suasana Hati
Setelah sekitar satu atau dua minggu berada dalam suasana depresi, tibalah saatnya beralih
ke suasana mania. Kondisi psikisku berubah 180 derajat. Pikiran-pikiran negatif,
keyakinan-keyakinan aneh, rasa cemas, sedih dan segala macam gejolak perasaan hilang
seketika. Berganti dengan rasa bahagia, semangat, optimistis, dan pikiran-pikiran positif.
Ide-ide kreatif berseliweran di benakku dan gairahku meluap-luap, kadang berlebihan. Dalam
episode mania, aku bisa kuat tidak tidur dan sama sekali tidak ngantuk sampai dini hari.
Saat bangun pagi, walau hanya tidur beberapa jam saja, aku merasa segar dan bersemangat.
Dalam kondisi seperti ini, biasanya aku bisa membuat lukisan atau ukiran yang lumayan
bagus (seperti sudah aku ceritakan sebelumnya, aku hobi melukis, namun kurang aku tekuni
dengan sungguh-sungguh).
Aku merasa bisa melakukan aktivitas sehari-hariku dengan baik. Aku merasa normal dan
sehat—walaupun keadaan sebenarnya tidak demikian.
Waktu itu aku belum tahu bahwa sebenarnya aku berada dalam episode lain dari manic
depressive, aku berada di kutub yang lain dari gangguan bipolar. Aku belum normal dan
sehat, aku masih sakit. Keadaan ini terus berulang, silih berganti antara depresi yang
menekan dengan mania yang penuh gairah dan luapan semangat yang berlebihan. Makin lama
siklusnya makin cepat, dari tiga minggu mania dan seminggu depresi, sampai menjadi
seminggu mania dan seminggu depresi, dengan intensitas tekanan yang semakin kuat dan
berat saat depresi.
Mendaki Tebing Terjal
Saat cita-cita dan impian masa depan terenggut, tinggal harapan yang tersisa. Harapan
inilah yang aku jadikan modal utama dan dorongan semangat untuk bangkit. Namun, untuk
bangkit dari keterpurukan yang begitu dalam ternyata tidak mudah. Untuk merubah
keyakinan-keyakinan yang telah tertanam kuat dalam pikiran dan alam bawah sadar, butuh
usaha ekstra keras yang menguras energi. Butuh ketekunan, keuletan, kegigihan dan semangat
pantang menyerah.
Aku seperti mendaki tebing terjal tanpa tali pengaman. Dengan daya dan kekuatan yang
tersisa aku harus merayap, mendaki tebing setahap demi setahap. Itulah satu-satunya
jalan agar aku bisa sampai di atas tebing. Di atas sana, orang-orang hanya memandangku
dengan beragam penilaian. Ada yang memandangku dengan rasa kasihan, ada pula yang
memandangku dengan heran, seakan mereka bertanya-tanya, mengapa aku memilih jalan mendaki
dan terjal, padahal ada jalan menanjak yang landai dan mulus. Ada pula yang memandangku
dengan sinis. Mereka mencemooh dan mengejek, menganggap aku telah melakukan kebodohan
karena melewati jalan yang sulit. Namun, mereka semua sama, tidak memahami apa yang
sebenarnya terjadi dengan diriku, apa yang aku rasakan dan mengapa aku memilih mendaki
tebing yang terjal.
Aku tidak menyalahkan mereka atas segala penilaiannya padaku, semua itu karena
ketidaktahuan mereka. Aku juga tidak mengharapkan belas kasihan mereka. Aku memilih jalan
ini karena inilah satu-satunya pilihan yang harus aku ambil, tidak ada pilihan lain. Hanya
ada dua pilihan bagiku, mendaki tebing terjal dan selamat sampai di atas atau menyerah dan
jatuh ke dasar jurang. Aku juga tidak berharap akan datangnya keajaiban. Aku sadar yang aku
hadapi adalah realitas kehidupan yang keras dan tak kenal kompromi. Di tengah kepedihan dan
kegetiran yang mencengkramku, aku selalu berharap, kasih sayang Tuhan akan selalu menyertai
setiap gerak langkahku. Aku berharap, kerasnya realitas kehidupan akan membuatku tumbuh
menjadi pribadi yang lebih kokoh dan tangguh.
Tak jarang kakiku tergelincir, peganganku lepas dan aku hampir jatuh. Namun, semua itu
tak sampai membuatku menyerah dan putus asa, karena aku tidak akan pernah membiarkan
diriku terhempas dan jatuh.
Halaman :
1 -
2 -
3 -
4 -
5 -
6 -
7 -
8 -
9 -
10 -
11 -
12 -
13 -
14 -
15 -
16
|