sivalintar   Teman Dekat Kala Gelisah


Tengok

Pejuangan Deni

Siang itu cuaca jakarta tampak cerah, sinar mentari menembus jendela kaca sekolah Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) yang terletak di jalan Hang Lekiu, Jakarta Selatan. Tampak seorang bocah laki-laki berusia delapan tahun asyik memainkan ujung pensil yang diapitnya dengan pipi dan tanganya yang tak utuh. Ia coba menuliskan bilangan nol hingga sembilan. Beberapa kali ia membuat kesalahan dan berusaha kembali dengan penghapus yang melekat di ujung pensil itu.

Bagi orang awam yang normal, gerak-gerik bocah bernama Deni ini cukup mengharukan. Tak cukup tangan dan kaki, ia berusaha belajar menulis dengan sisa tanganya yang ada sehigga harus menempelkan batangan pensil ke pipinya. Selama tiga bulan di sekolahan tersebut, Deni memiliki semangat belajar yang tinggi dan mulai menuai kemajuan. Untuk bilangan angka ia telah bisa menuliskan 1 hingga 9, namun baru bisa menulis hurup A dan B. Dinding rumah kontrakanya yang berukuran 2,5 m x 3 m di jalan Bekasi Timur Raya, Gang Mayong, RT 15 RW 07, Prumpung, Cipinang, Jakarta Timur, ia jadikan sasaran coretan angka dan gambar.

Deni belajar di dalam kelas, bapaknya Kodir, menanti di luar dengan tak jemu. Seusai mengikuti mata pelajaran, bapaknya kembali menggendong Deni untuk diajak pulang atau berdagang asongan rokok di kawasan Stasiun Jatinegara. Biasanya sang bapak menarik kereta yang dibuatnya dengan sederhana untuk ditumpangi Deni bila perjalanan dianggap terlalu jauh. Jalan-jalan protokol yang penuh debu dan polusi, seperti jalan Sudirman dan MH Thamrin merupakan rute yang ditempuh setelah pulang sekolah pada hari Selasa dan Kamis, menuju rumah atau tempatnya berdagang.

Meski Deni cacat tubuh sejak lahir, dan tak memiliki cukup tangan serta kaki hingga pangkal paha, namun ia tak pernah meminta belas kasihan kepada orang lain. Sebaliknya ia belajar untuk mandiri. Itu pula yang ditanamkan oleh sang bapak yang hanya seorang pedagang asongan rokok dengan keuntungan habis untuk makan sehari.

Si Deni kecil telah mampu menyuap makanan dan mengenakan baju sendiri. Bila hendak buang air atau mandi dan menuruni tangga di rumah kontrakanya, barulah ia membutuhkan bantuan orang tuanya.

Kasih sayang orangtuanya itu membuat keluarga Kodir yang semula tinggal di Ciamis, Jawa Barat memboyong Deni menuju kota Metropolitan yang gemerlap. Pak Kodir, petani dengan luas lahan tak seberapa, rela menjadi pedagang asongan rokok atas permintaan anaknya itu.

Dulu sewaktu kecil. Deni selalu mengikuti bapaknya yang turun ke sawah. Agar tidak berkeliaran, biasanya Deni direndam di dalam ember berisi air di tepi pematang. Tak ada pasilitas pendidikan, sementara pendidikan sang ayah tak begitu tinggi. Kini Deni terdampar di tengah-tengah hiruk-pikuk metropolitan yang serba gemerlap dan penuh harap. Deni masih terbilang bernasib baik karena ada seorang dokter gigi yang membiayainya untuk dapat sedikit mengecap pelajaran di ruang kelas YPAC.

Ini hanya contoh kecil kehidupan nyata yang ada di hadapan kita, dan masih banyak 'deni-deni' lainya yang terjerat nasib yang lebih buruk, membutuhkan perhatian. Bukan sekedar bantuan bersifat instan yang mereka butuhkan. Lebih penting lagi mereka butuh pendidikan yang mengajarkan mereka untuk bisa percaya diri, mandiri, dan punya harapan, tanpa bergantung pada orang lain.

Eddy Hasby, Esay Fhoto KOMPAS, 25 Agustus 2002.