Bambang Haryanto
Kesan saya, saat pertama kali bertemu dan ngobrol denganya, BH adalah pria nyentrik namun rapi.
punya sense of humour tinggi, berpengetahuan dan berwawasan luas namun ramah dan rendah hati.
-Komentar
-Baca Komentar
|
Pohon PHK Di Jalan Kebon Sirih Jakarta
Oleh : Bambang Haryanto
HADIAH TAHUN BARU : PHK. Di trotoir sepotong jalan Kebonsirih, Jakarta Pusat, ada halte
bis kota tidak resmi. Ujudnya hanya bangku kayu yang dekatnya tumbuh pohon yang belum
begitu besar. Di lokasi yang terletak di dekat belokan dari jalan Sabang ke arah Tanah
Abang itu, suatu sore akhir Desember 2001, saya mendapati diri saya terkena PHK. Ya PHK
begitu saja. Itulah hadiah Tahun Baru 2002 yang berkesan dalam hidup saya.
Menurut tabel Holmes & Rahe, angka indeks stres akibah pemutusan hubungan kerja adalah
sebesar 47. Sementara kematian pasangan hidup menempati angka 100, perceraian 73, pensiun
45 dan perubahan tanggung jawab dalam pekerjaan sebesar 29.
Angka-angka di atas itu, saat itu, tidak saya ketahui menunjukkan betapa berat beban
yang saya terima. Atau sebaliknya. Tetapi reaksi yang terjadi pada diri saya adalah khas,
sebagaimana sering diutarakan oleh para psikolog. Reaksi saya pertama adalah pengingkaran
(denial). Hei, bagaimana saya bisa terkena PHK semacam ini ? Saya tidak pantas memperoleh
perlakuan buruk semacam ini. Ini tidak adil. Ini tidak fair. Apa salah saya ? Mengapa
saya ?
Saat itu saya bekerja di perusahaan dotcom, pengelola situs web yang mengadvokasi keluhan
dan penilaian konsumen terhadap sesuatu produk atau jasa. Situs ini merupakan kloning
situs serupa yang dikembangkan di Amerika Serikat dan Jerman. Kebetulan pemiliknya adalah
anak pengusaha perkebunan teh di Jawa Barat, yang ibunya berasal dari Jerman. Anak
blasteran Sunda-Jerman.
Dia seorang cable guy, pengoprek yang menguasai pernak-pernik jaringan. Di bawahnya, ada
seorang webmaster. Lalu ada sekretaris dan operator data. Saya mengisi slot sebagai,
kerennya, sebagai direktur komunikasi. Saya adalah orang ketiga atau keempat dalam kursi
jabatan ini sejak situs web itu beroperasi. Mereka keluar atau mengundurkan diri akibat
terjadinya ramuan kimia yang kurang cocok dengan sang webmaster yang sekaligus direktur
pelakasana itu.
INGKAR DAN MARAH. Ramuan kimia yang sama akhirnya terjadi pula dengan diri saya menjelang
genap 3 bulan saya bekerja di perusahaan yang berlokasi di Jl. Wahid Hasyim itu. Selain
pengingkaran, reaksi psikis saya kemudian adalah marah (anger). Di kepala ini berseliweran
gagasan-gagasan untuk menuntut balas. Bara ingin membalas dendam menyala-nyala.
Syukurlah, ketika saya semakin jauh dari lokasi itu, isi kepala dituntun mencari perspektif
dan solusi yang lebih nalar. Tak ada gunanya pengingkaran, tak ada gunanya marah, tak ada
gunanya pula melakukan balas dendam. Ketika dalam bus Jakarta-Bogor yang berpacu di
Jagorawi (saat itu saya tinggal di Bogor), muncul kemudian reaksi tawar-menawar
(bargaining). OK, saya kehilangan pekerjaan, tapi diri saya masih sehat, baik-baik saja,
saya masih punya hobi untuk ditekuni, dan masih ada peluang lain yang bisa dikejar nanti.
Tanpa melalui tahap depresi (depression), saya bersyukur karena langsung bisa mecapai
tahap penerimaan (acceptance) atas musibah PHK yang terjadi.
NYAWA KEDUA. Imbalan pun datang, hari itu pula, sekitar jam 2 dini hari. Kebetulan saat
itu saya menjabat sebagai Sekjen Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia (ASSI), dan di dini
hari itu (melalui adik saya) Ketua Umum ASSI memerintahkan saya esok pagi untuk ke Jakarta
lagi. Yaitu untuk menemui pejabat di Balaikota DKI, menegosiasikan rencana ASSI menggelar
atraksi dalam Pembukaan Liga Indonesia 2002.
Saya kehilangan pekerjaan, esoknya langsung memperoleh pekerjaan. Yang terakhir ini berkat
dari hobi saya sebagai suporter sepakbola
Indonesia. Luka akibat PHK kini seakan mendapat pengobatnya. Beberapa bulan ke depan
ternyata pekerjaan saya sebagai suporter sepakbola itu memperoleh momentum puncak yang
tak terdugakan sebelumnya. Juga sekaligus sebagai pengobat luka hati yang mujarab.
Sehingga saya yakin, itulah kiranya manfaat hobi, sebagai nyawa kedua atau ketiga, sebagai
bumper agar kita tidak ambruk ketika apa yang kita anggap penting dalam kehidupan ini
tidak memberikan balasan yang kita harapkan.
MEWAKILI ASSI. Sebagai Sekretaris Jenderal Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia
(ASSI), Bambang Haryanto (kaos merah), bersiap membeberkan wacana dinamika suporter
sepakbola Indonesia di hadapan manajer klub Liga Indonesia di Hotel Sahid Jaya, Jakarta,
menjelang bergulirnya kompetisi Liga Indonesia 2002.
|
Saat itu saya, mewakili pandangan seorang suporter sepakbola, didaulat untuk berbicara
dalam forum pengelola klub peserta Liga Indonesia di Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Malamnya
bisa nonton diri sendiri dalam tayangan wawancara singkat dengan AnTv. Beberapa hari
kemudian bisa menjadi emce sepakbola di Stadion Senayan. Bahkan di bulan April 2002,
dengan menjual tesis revolusi dalam dunia suporter sepakbola Indonesia, dari budayanya
yang selama ini selalu destruktif menjadi penghibur kolosal yang negatif, meraih
penghargaan tertinggi dalam Honda The Power of Dreams Contest 2002. Hadiahnya, setara
dengan 20 bulan gaji saya bila tak terkena PHK !
Dalam bulan April 2002, saya kembali mengunjungi lokasi di tikungan jalan Sabang menuju
Tanah Abang itu. Dengan duduk di bangku itu saya merekam ulang saat membuka amplop, lalu
membaca surat yang menyatakan saya terkena PHK. Saya mencoba merasakan kembali reaksi
tubuh dan jiwa saya saat itu. Untunglah, kali ini tiada lagi kecamuk pengingkaran, rasa
amarah, atau pun keinginan melakukan balas dendam.
Seorang tokoh penyembuh (healer) terkenal AS, Andrew Weil, M.D. yang lulusan Harvard,
pernah memberikan nasehat : kalau Anda sedang dibakar marah dan kebencian, ingatlah bahwa
keadaan mental Anda tersebut berpengaruh tidak bagus terhadap tubuh Anda. Dengan tidak
melakukan hal tersebut merupakan satu langkah menuju kesehatan yang lebih prima. Yaitu,
maafkanlah seseorang yang Anda nilai telah melukai diri Anda. Dari pengalaman saya,
katanya, tindakan memberi maaf itu akan menyembuhkan mereka yang rela memberikannya.
Mendiang Paul Johanes Paulus II yang wafatnya aku dengar dari siaran BBC, Minggu Pagi
(3/4/2005) jam 5, telah melakukan hal yang sama. Beliau telah memaaafkan penembak yang
hampir merenggut nyawanya, Mehmet Ali Agca. Jadi, sebenarnya apa yang aku lakukan ini
hanyalah sebutir debu dibanding dengan kebesaran jiwa yang selalu ia tunjukkan selama ini
di dunia.
Suatu saat aku ingin kembali lagi ke lokasi pohon PHK-ku ini. Semoga ia nanti semakin
tumbuh besar dan merindang daunnya.
Wonogiri, 2-3 April 2005
|