Gunung Jangan Pula Meletus
Oleh Emha Ainun Nadjib
KHUSUS untuk bencana Aceh, saya menemui Kyai Sudrun.
"Apakah kata mampu mengucapkan kedahsyatannya? Apakah sastra mampu menuturkan kedalaman dukanya?
Apakah ilmu sanggup menemukan dan menghitung nilai-nilai kandungannya?"
Sebab, barang siapa tidak berduka oleh bencana itu dan oleh kesengsaraan para korban yang
jiwanya luluh lantak berkeping-keping, akan kubunuh.
"Jakarta jauh lebih pantas mendapat bencana itu dibanding Aceh!," aku menyerbu.
"Kamu juga tak kalah pantas memperoleh kehancuran," Sudrun menyambut dengan kata-kata yang
seperti biasa, menyakitkan hati. "Jadi, Kenapa Aceh, bukan aku dan Jakarta?"
"Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia, sedangkan rakyat Aceh dinikahkan dengan
surga." "Orang Aceh-lah yang selama betahun-tahun terakhir amat dan paling menderita
dibandingkan kita senegara, kenapa masih ditenggelamkan kekubangan kesengsaraan sedalam
itu?" "Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya sehingga
derajat orang Aceh di tinggikan, sementara kalian ditinggalkan terus menjalani kerendahan."
"Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu peringatan, kenapatidak kepada
gerombolan maling dan koruptor di Jakarta? Kalau itu ujian, apa Tuhan masih kurarng kenyang
melihat kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh selama ini, di tengah perang politik dan
militer tak berkesudahan?"
Sudrun tertawa terkekeh-kekeh "kamu mempersoalkan Tuhan?
Mempertanyakan tindakan Tuhan? Mempersalahkan ketidakadilan Tuhan?" katanya.
Aku menjawab tegas,"ya." "Kalau Tuhan diam saja bagai mana?" "Akan terus kupertanyakan.
Dan aku tahu seluruh bangsa Indonesia akan terus mempertanyakan." "Sampai kapan?"
"Sampai kapan pun!" "Sampai mati?" "Ya!" Lebih baik kamu mempertanyakan
kenapa ilmumu sampai tidak mengetahui akan ada gempa di Aceh. Kamu bahkan tidak tahu apa
yang akan kamu katakan sendiri lima menit mendatang. Kamu juga tidak tahu berapa jumlah
bulu ketiakmu. Kamu pengecut. Untuk apa mempertanyakan tindakan Tuhan. Kenapa kamu tidak
melawannya. Kenapa kamu memberontak secara tegas kepada Tuhan. Kamu menyinkir dari
bumi-Nya, pindah dari alam semesta-Nya, kemudian kamu tabuh genderang perang
menantangkan-Nya!"
Tuhan tidak berkewajiban apa-apa karena ia tidak berhutang
kepada siapa-siapa dan keberadaannya tidak atas
saham dan andil siapapun. Tuhan tidak terikat oleh baik-buruk karena justru Dialah yang
menciptakan baik-buruk. Tuhan tidak harus patuh kepada benar atau salah, karena benar dan
salah yang harus taat kepada-Nya.
"Kamu tahu Muhammad?" Ia meneruskan, "Tahu?
Muhammad Rosulullah SAW. Tahu? Ia manusia mutiara yang memilih hidup sebagai orang
jelata. Tidak pernah kenyang lebih dari tiga hari, karena sesudah hari kedua ia tidak
punya makanan lagi. Ia menjahit bajunya sendiri dan menambal sandalnya sendiri.
Panjang rumahnya 4,80 cm, lebar 4,62 cm. Ia manusia yang paling dicintai Tuhan dan paling
mencintai Tuhan. Tetapi oleh Tuhan orang kampung Thaif diizinkan melemparinya dengan batu
yang membuat jidatnya berdarah. Ia bahkan dibiarkan oleh Tuhan sakit sangat panas badan
oleh racun Zaenab wanita Yahudi. Cucunya yang pertama diijinkan mati diracun istrinya
sendiri. Dan cucunya yang kedua dipenggal kepalanya kemudian kepala itu diseret dengan
kuda sejauh ratusan kilometer sehingga ada dua kuburanya. Tetapi ia selalu takut kepada
Tuhan sehingga menangis disetiap sujudnya. Sedangkan kalian yang pekerjaanya mencuri,
kelakuaannya penuh kerendahan budaya, yang politik kalian busuk, perhatian kalian kepada
Tuhan setengah-setengah, menginginkan nasib lebih enak dibandingkan Muhammad? dan kalau
kalian ditimpa bencana, Tuhan yang kalian salahkan?"
"Kiai," kata saya agak pelan,
"Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa Icon utama eksistensi Tuhan adalah sifat Rahman
dan Rahim..." "Sangat benar demikian," jawabnya, "Apa yang membuatmu tidak yakin?"
"Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman cinta sosial, Rahim cinta
lubuk hati. Kenapa?" "Aceh, Kiai, Aceh." "Rahman menjilat Aceh dari
lautan, Rahim menghisap Aceh dari bawah bumi. Manusia yang mulia dan paling beruntung
adalah yang segera dipisahkan oleh Tuhan dari dunia. Ribuan malaikat mengangkut mereka
langsung ke surga dengan rumah-rumah cahaya yang telah tersedia. Kepada saudara-saudara
mereka yang ditinggalkan, porak-poranda kampung dan kota mereka adalah medan pendadaran
total bagi kebesaran kepribadian manusia Aceh,
karena sesudah ini Tuhan menolong mereka untuk bangkit dan menemukan kembali kependekaran
mereka. Kejadian tersebut dibikin sedahsyat itu sehingga mengatasi segala tema Aceh
Indonesia yang menyengsarakan mereka selama ini. Rakyat Aceh dan Indonesia kini
terbebas dari blok-blok psikologis yang memenjarakan mereka selama ini, karena air
mata dan duka mereka menyatu, sehingga akan lahir keputusan dan dan perubahan sejarah
yang melapangkan kedua belah pihak.
"Tetapi terlalu mengerikan, Kiai, dan
kesengsaraan para korban sukar dibayangkan akan mampu tertanggungkan." "Dunia
bukan tempat utama pementasan manusia. Kalau bagimu orang yang tidak mati adalah selamat
sehingga yang mati kamu sebut tidak selamat, buang dulu Tuhan dan akhirat dari konsep
hidupmu. Kalau bagimu rumah tidak ambruk, harta tidak sirna, dan nyawa tidak melayang,
itulah kebaikan; sementara yang sebaliknya adalah keburukan berhentilah memprotes Tuhan,
karena toh Tuhan tidak berlaku di dalam skala berpikirmu, karena bagimu kehidupan berhenti
ketika kamu mati."
"Tetapi kenapa Tuhan mengambil hamba-hamba-Nya yang tak
berdosa, sementara membiarkan para penjahat negara dan pencoleng masyarakat hidup nikmat
sejahtera?" "Mungkin Tuhan tidak puas dengan keberadaan para pencoleng di neraka
kelak tidak terlalu lama. Jadi dibiarkan dulu mereka memperbanyak dosa dan kebodohannya.
Bukankah cukup banyak tokoh negerimu yang baik justru Tuhan bersegera mengambilnya,
sementara yang kamu doakan agar cepat mati karena luar biasa jahatnya kepada rakyatnya
malah panjang umurnya?"
"Gusti Gung Binathoro!," saya mengeluh, "Kami semua dan
saya sendiri, Kiai, tidaklah memiliki kecanggihan dan ketajaman berpikir setakaran dengan
yang disuguhkan oleh perilaku Tuhan."
Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah
tahu bagaimana pola perilaku Tuhan. Kalau hati manusia berpenyakit, dan ia mmebiarkan
terus penyakit itu sehingga politiknya memuakkan, ekonominya enggragas
Dan kebudayaannya penuh penghinaan atas martabat diri manusia sendiri -maka Tuhan justru
menambahi penyakit itu, sambil menungu mereka dengan bencana yang sejati yang jauh lebih
dahsyat. Yang di Aceh bukan bencana pada pandangan Tuhan. Itu adalah pemuliaan bagi mereka
yang nyawanya diambil malaikat, serta pencerahan dan pembangkitan bagi yang masih dibiarkan
hidup." "Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai ketidakadilan...."
"Alangkah dungunya kamu!" Sudrun membentak," Sedangkan ayam menjadi riang hatinya dan
bersyukur jika ia disembelih untuk kenikmatan manusia meski ayam tidak memiliki kesadaran
untuk mengetahui, ia sedang riang dan bersyukur."
"Jadi, para koruptor dan penindas
rakyat tetap aman sejahtera hidupnya?"
"Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan
masih sayang kepada mereka sehingga selama satu dua bulan terkahir ini diberi peringatan
berturut-turut, baik berupa bencana alam, teknologi dan manusia, dengan frekuensi jauh lebih
tinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya." Tetapi, karena itu semua tidak menjadi pelajaran,
mungkin itu menjadikan Tuhan mengambil keputusan untuk memberi peringatan dalam bentuk lebih
dahsyat. Kalau kedahsyatan Aceh belum menggucangkan jiwa Jakarta untuk mulai belajar
menundukkan muka, ada kemungkinan...."
Emha Ainun Nadjib
Budayawan
|