Dahsyatnya Derita Fisik dan Psikis
Korban Badai Tsunami

"Apakah kata mampu mengucapkan kedahsyatannya? Apakah sastra mampu menuturkan kedalaman dukanya? Apakah ilmu sanggup menemukan dan menghitung nilai-nilai kandungannya?" demikian budayawan Emha Ainun Nadjib mengawali tulisannya (Kompas, 4/1/2005).


Sebagian Aceh dan Sumatera Utara benar-benar luluh lantak tersapu badai tsunami setinggi 10 meter. Air sebagai sumber kehidupan kini menghancurkan kehidupan. Menunjukan keganasannya, menghancurkan apa saja yang dilaluinya tanpa pandang bulu. Lebih dari 105.000 orang tewas, puluhan ribu lainnya hilang dan tak terhitung kerugian harta benda yang turut hancur terseret dahsyatnya badai tsunami.

Namun, apa yang kita lihat di layar kaca dan di halaman-halaman utama surat kabar dan majalah baru berupa duka dan derita fisik, sebatas duka lahiriah. Lalu sedalam apakah derita psikis para korban bencana yang selamat? Kita belum bisa memperkirakannya.

"Kecuali makanan, minuman, dan obat-obatan, diperlukan pula bantuan psikis, nasihat sepiritual, serta penyertaan terhadap saudara-saudara yang terguncang jiwannya dan mengalami trauma," demikian Tajuk Rencana Kompas (31/12/2004)

"Korban-korban selamat dari badai tsunami mulai memperlihatklan gejala depresi. Dibenak sebagian korban terus terngiang gambaran soal kedatangan ombak maut itu," demikian kompas (4/1/2005) melaporkan.
Ada pula yang sampai berteriak-teriak di saat tidur karena mengalami mimpi buruk. Itulah salah satu kisah lanjutan akibat terjangan tsunami dengan daya rusak terparah di dunia dalam 40 tahun terakhir.
Salah satu korban seperti itu adalah Jasmin Hasic. Dia sedang berada di kamar sebuah bungalo di pantai Thailand bersama istrinya Nadja. Ombak tinggi menghujam mereka. Dia memgangi Nadja, tetapi tembok kamar roboh dan menimpa punggung istrinya, yang kemudian terseret ke laut.
Nadja memegangi pohon palm di laut. Hasic memanggil-manggil Nadja dan tidak ada respons. "Ini ada di kepala saya.... Setiap hari, setiap hari," kata Hasic.
Nadja selamat, tetapi kenangan itu masih membuat Hasic menangis dan sering terjaga di malam hari.

Ribuan korban selamat seperti Hasic telah dihantui olah ingatan menyeramkan akibat tsunami yang menggasak pantai-pantai di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika Timur. Tenaga di bidang kesehatn mengatakan bahwa luka fisik gampang disembuhkan, tetapi luka psikis memerlukan waktu lama untuk memulihkannya.

"Mereka membutuhkan konseling yang sangat, sangat mendesak," kata Cesar Vargas, seorang dokter yang ditugaskan untuk membantu korban di resor wisata Thailand, termasuk membantu Hasic yang merupakan warga Austria.

Disamping itu ada pula sejumlah orang tua yang belum bisa menerima kenyataan dan merasa yakin anak-anak mereka yang hilang masih hidup di pegunungan menghindari ombak. Juga ada korban selamat yang tidak mau meninggalkan lokasi bencana karena merasa bersalah meninggalkan kerabat yang dianggap masih "hidup" walau tak jelas rimbanya.
Diantara korban lainnyaada yang takut kegelapan, takut air, atau takut sendirian.
Para ahli menuturkan, pasien-pasien di lokasi bencana memerlukan konseling. Masalahnya,apakah bantuan konseling itu memadai?

"Jika tidak ditangani, korban bisa mengalami stres yang lama," kata David Sattler, dari Western Washington University, AS. ia telah melakukan riset mengenai korban-korban selamat dari bencana.

Penanganan diperlukan segera setelah bencana terjadi. Jika tidak trauma akan terbawa hingga bertahun-tahun. "Ini adalah reaksi normal dan korban-korban perlu ditenangkan," kata Margaret Miles, dari University of Nort Carolina-Chapel Hill. Ia juga telah berpengalaman menangani para korban bencana.
Para pakar menyebutkan, konseling yang cepat diperlukan.


Fhoto 1: Jakarta Post/acehtsunami.org Fhoto 2: Routers/acehtsunami.org

*****


Untuk membahas lebih lanjut apa dan bagaimana gangguan jiwa dan trauma yang dialamai korban badai tsunami, serta apa dan bagaimana langkah-langkah penanggulangannya, sivalintar.com mengutip tulisan dua orang pakar psikologi yaitu : Selain dua tulisan di atas, sivalintar.com juga mengutif tulisan budayawan Emha Ainun Nadjib, berjudul "Gunung Jangan Pula Meletus" (Kompas, 29/12/2004). Dari tulisan Emha, yang juga dikenal sebagai sastrawan dan kyai itu, mungkin kita bisa melihat dan menilai bencana alam maha dahsyat itu dari sudut pandang yang berbeda.

*****


Anda ingin meringankan derita fisik dan psikis saudara-saudara kita di Aceh dan Sumut, Mari salurkan bantuan Anda melalui rekening BCA berikut :
  • "Bakti BCA"   No.Rek. : 001-988-8888
  • "Rekening PMI"   No.Rek. : 450-666-0009
  • Indosiar "Kita Peduli"   No.Rek. : 001-304-0009
  • "Pundi Amal SCTV"   No.Rek. : 084-266-2000
  • "RCTI Peduli"   No.Rek. : 128-300-7000
  • "Metro Group "Dompet Kemanusiaan Indonesia Menangis"   No.Rek. : 309-300-7979
  • "Dana Kemanusiaan Kompas - Bencana Aceh"   No.Rek. : 012-301-6600
  • Suara Pembaruan "Dompet Bencana"   No.Rek. : 273-300-9004

Sumbangan Via SMS

"Telkom Group Peduli Aceh"
untuk pelanggan TELKOMSEL (kartuHALO,simPATI,Kartu As) Telkom Flexi (Classy & Trendy). Ketik "Peduli Aceh" kirim ke nomor 2000, Anda telah menyumbangkan Rp.2.000 untuk korban gempa/tsunami di Aceh.



Cari Informasi

Untuk mencari kerabat Anda di Aceh, hubungi dan daftar ke Call Center "Cari & Aman" TELKOMSEL : 111 (dari kartuHALO) dan 116 (dari simPATI/Kartu As).






Situs tentang Aceh



[ Home ]