Trauma Gempa dan Stunami
Oleh Limas Sutanto
Korban tewas akibat gempa dan gelombang Stunami di Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara
bisa mencapai 10.000 orang. Gempa dan gelombang Tsunami yang menimpa sembilan negara itu
menewaskan 23.200 orang. Di pusat kota Banda Aceh, mayat-mayat berserakan, belum bisa
dievakuasi karena tertimbun reruntuhan atau tertancap kayu (Kompas, 28/12).
Dapat dipastikan bencana gempa dan tsunami di Aceh, Sumatera Utara, dan wilayah-wilayah lain
merupakan peristiwa traumatik ekstrem. Pada titik ini dapat disadari bencana di Aceh dan
Sumatera Utara lebih mengerikan dan jauh lebih banyak menelan korban manusia ketimbang
tragedi World Trade Center, 11 September 2001, yang menewaskan lebih dari 3.500 manusia dan
luka-luka.
Penggambaran amat ringkas itu cukup untuk memprediksikan betapa dalam
efek trauma bencana gempa dan tsunami. Bencana alam amat mengerikan itu telah memaksa
ribuan orang di Aceh, Sumatera Utara, dan beberapa negara menyaksikan, mendengar, atau
terlibat penggelaran Stresor traumatik ekstrem. Secara psikososial bisa diperkirakan,
akan ada ribuan insan yang bereaksi terhadap pengalaman traumatik ekstrem dengan menampilkan
gejala ketakutan, keputus-asaan, ketakberdayaan, penghidupan kembali peristiwa traumatik
dalam jiwa mereka, dan perilaku menghindar terhadap ingatan traumatik.
*****
INSAN-insan akan mengalami kembali peristiwa traumatik itu dalam mimpi-mimpi dan wicara mereka
sehari-hari. Mereka akan menghindari segala sesuatu yang diperkirakan bakal membawa kembali
ingatan akan peristiwa traumatik itu ke dalam ksazanah mental. Bahkan, mereka akan
mengalami penderitaan biopsikososial berupa penumpulan kemampuan dan perasaan dalam
menanggapi lingkungan.
Dan di sana-sisni kehidupan mereka akan terganggu oleh kewaspadaan dan kepekaan berlebih
terhadap sekadar perubahan suara, perubahan keadaan, dan aneka perubahan kecil lain yang
sebenarnya wajar terjadi di tengah kehidupan sehari-hari. Insan-insan juga akan mengalami
kecemasan, depresi (ketertekanan jiwa), kesulitan berpikir, dan gangguan konsentrasi.
Semisal kehidupan keluarga dan pekerjaan.
Untuk saudara-saudari di Aceh, dapat
diperkirakan efek trauma gempa dan tsunami bakal lebih parah karena mereka hingga kini
masih berada di tengah kondisi dan situasi psikososiopolitis yang juga traumatik. Di sana
banyak anak yang mengalami trauma masa kanak-kanak karena peperangan. Di sana juga banyak
orang yang berulang kali mengalami perubahan kehidupan penuh stress. Di tengah kondisi
demikian, kerentanan terhadap efek trauma makin meninggi.
Di kalangan ilmu
kedokteran jiwa, himpunan gejala-gejala ganguan stres pasca trauma bisa di mulai muncul
tujuh hari hingga 30 tahun setelah peristiwa traumatik ekstrem. Jadi kurun waktu efek
trauma bisa begitu panjang. Gejala-gejala bisa hilang-timbul sepanjang masa, dengan
demikian mengganggu fungsi kerja dan keefektifan hidup umumnya. Jika tidak dikelola
(diobati dan ditangani) dengan benar, ada sekitar 30 persen pasien gangguan stres
pascatrauma yang sembuh sendiri. Namun, ada sekitar 40 persen yang terus menerus mengidap
berbagai gejala dalam taraf sedang, dan 10 persen akan terus menerus mengidap berbagai
gejala dalam taraf parah.
Usia adalah salah satu faktor penting yang patut
diperhatikan dalam memperkirakan efek trauma gempa dan tsunami. Insan-insan muda dan
lanjut usia biasanya mengalami kesulitan lebih besar ketika mereka mengahadapi peristiwa
traumatik ekstrm.
Sedangkan insan-insan lanjut usia umumnya tidak cukup luwes
untuk mengembangkan cara mengatasi efek secara efektif. Lebih dari itu, pada insan
lanjut usia, efek trauma bisa diperparah oleh kelemahan tubuh yang sering menandai
kehidupan manusia di usia senja, terutama kelemahan system syaraf dan kelemahan jantung
dan sistem peredaran darah.
Pada titik ini boleh ditegaskan betapa tindakan pertolongan perlu memerhatikan korban
trauma usia anak dan lanjut usia.
*****
KENDATI efek trauma gempa dan tusnami begitu
dahsyat, harapan perbaikan dan kesembuhan tetap ada. Perbaikan dan kesembuhan amat
terkait dengan ketersediaan dukungan sosial serta pengelolaan profesional (pengobatan
dan psikoterapi) untuk korban. Pada tahun 2003 dua psikiater tersohor, BJ Sadock dan
VA Sadock, menulis dalam buku mereka insan-insan yang memiliki atau terlayani oleh
jejaringan dukungan sosial yang baik lebih mungkin terhindar dari gangguan stres pascatrauma,
atau jika meneka mengidap gangguan stres pascatrauma, tingkat keparahannya tidak akan
terlalu tinggi dan mengalami perbaikan serta penyembuhan secara cepat.
Bantuan terapi (terapi dengan obat atau psikoterapi) oleh para psikiater, psikolog
kilnis, psikoterapis, dokter, perawat, dan profesional lain akan lebih efektif jika
didukung jejaring dukungan sosial yang baik. Maka, segala pendanaan yang telah, sedang,
dan bakal tercurah ke Aceh dan Sumatera Utara perlu dimanfaatkan untuk menumbuhkembangkan
dan memperkuat jejaring dukungan sosial yang niscaya menjadi makin baik, efektif, dan
efesien.
Penetapan hari berkabung nasional, darurat kemanusiaan, dan bakti sosial
selama tiga hari (27-29 Desember 2004) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono niscaya
dipahami rakyat Indonessia sebagai representasi kesadaran dan tekad membantu saudara-saudari
di Aceh dan Sumatera Utara secara tulus. Pada perspektif ini patut diingatkan, kebiasaan
sebagian warga Indonesia mengorup dana kemanusiaan niscaya benar-benar ditiadakan.
Limas Sutanto
Psikiater, Kini Study Pascasarjana Konseling, Tinggal di Malang
|