Bergumul dengan Depresi
Aku sendiri sebenarnya masih bingung, dari mana harus memulai
kisah 'getir' kehidupanku ini. Aku masih dan selalu bertanya-tanya pada diri sendiri, dari
mana dan kapan sebenarnya virus depresi ini merasuki pikiranku.
|
Aku baru merasakan secara jelas gejala-gejala depresi itu saat aku beranjak remaja,
tepatnya saat aku masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saat itu pun aku belum
tahu bahwa yang aku rasakan adalah gejala depresi.
Mungkin jauh sebelumnya gejala-gejala depresi itu sudah ada, namun tidak aku sadari. Aku baru
bisa mengenali secara jelas gejala depresi yang aku rasakan stelah aku membaca artikel karya
Dr HM Surya berjudul "Depresi Terselubung dan Peranan Keluarga" di sebuah
majalah bekas, dengan tahun terbit 1988. Majalah bekas yang sudah kusam itu sampai saat ini
masih aku simpan dengan baik.
Selanjutnya aku akan mencoba 'melihat' masa kecilku, baik sisi fisik maupun psikisnya.
Dari sini mungkin aku bisa menelusuri akar penyebab depresi yang tanpa aku sadari telah
merasuki pikiran dan perasaanku.
Masa Kecil
Menurut kedua orang tuaku, sewaktu masih balita aku sering
sakit-sakitan, bahkan pernah sakit parah sampai hampir meninggal. Walaupun demikian perkembangan
fisikku cukup baik. Dulu aku pernah melihat foto keluargaku, aku melihat (diriku) seorang anak yang montok
dan sehat.
Aku masih ingat saat kecil dulu aku suka membanding-bandingkan penampilan fisiku dengan
penampilan fisik teman-teman sebayaku. Aku merasa punya kekurangan dalam penampilan fisiku,
aku selalu merasa orang lain lebih baik dariku. Sebagai contoh : aku suka membandingkan
bentuk kepalaku yang agak benjol dan sedikit besar, bentuk hidungku yang pesek, daun telingaku
yang agak lebar dan kekurangan-kekurangan penampilan fisiku yang lainya.
Penampilan yang selalu aku persoalkan itu sebenarnya tergolong normal, banyak juga anak
lain dengan bentuk kepala, bentuk hidung, bentuk telinga seperti aku, bahkan lebih 'jelek'
dari aku, tapi toh, mereka tampak begitu percaya diri.
Tanpa aku sadari kekurangan-kekurangan diri yang sebenarnya wajar itu, telah membuatku
merasa rendah diri.
Aku sering bertanya-tanya kepada diriku sendiri:
Mengapa aku selalu saja merasa rendah diri?
Mengapa orang lain yang penampilan fisiknya tidak lebih baik dari aku tampak sangat percaya
diri? Apa yang salah dengan diriku? Apa penyebab semua ini?
Dari sini sudah tampak, benih-benih gangguan mental itu sudah
tumbuh, walaupun belum tampak jelas. Saat itu aku sama sekali tidak menyadarinya.
Sambil Anda membaca kisah kepedihan hidupku ini, aku persilahkan Anda mencari titik-titik
lemah dalam diriku. Celah-celah tempat masuknya bibit depresi.
Mungkin Anda atau orang lain bisa lebih jernih dan cermat menilai kelemahan diriku. Siapa
tahu Anda bisa menemukan akar penyebab depresi yang sesungguhnya dalam diriku.
|
Memasuki Lingkungan
Baru—Sekolah
Perasaan rendah diri yang sebelumnya sudah tumbuh, di
lingkunan baru ini (sekolah) tumbuh semakin subur, bagaikan bibit yang ditanam di tanah
yang gembur, disiram setiap hari dan diberi pupuk.
Seiring bertambahnya usia, bertambah pula wawasan dan pengetahuan. Namun disamping itu
bertambah pula tuntutan pada diri sendiri untuk semakin mampu bertinteraksi dan
beradaftasi dengan baik di lingkungan baru yang lebih luas. Namun aku merasa kemampuanku
dalam berinteraksi dan beradaptasi kurang memadai. Aku tergolong anak yang pendiam dan pemalu.
Ketidak mampuanku dalam bergaul inilah yang membuatku semakin merasa rendah diri.
Aku paling rikuh bila berhadapan dengan guru. Aku juga paling tidak suka jika disuruh
berbicara atau menyanyi di depan ruang kelas, misalnya.
Seperti kebiasaan sebelumnya aku selalu membanding-bandingkan diriku dengan teman-teman
sebayaku (sekolahku). Entah mengapa aku selalu merasa punya kekurangan, merasa lebih lemah, lebih jelek
di banding orang lain. Aku selalu melihat kelemahan dan kekurangan diriku.
Satu-satunya yang menjadi kebanggaanku adalah prestasi belajarku di sekolah yang tergolong
menonjol. Sejak kelas 1 sampai kelas 6 (SD) aku hampir selalu ranking satu di kelasku.
Saat di sekolah dasar, karena prestasi belajarku tergolong menonjol, siswa dan para guru
memberiku kepercayaan memegang beberapa jabatan kesiswaan di sekolah. Di kelas aku dipercaya
menjadi ketua murid (KM), menjadi pengurus perpustakaan sekolah, menjadi pemimpin regu (Pinru)
di kepramukaan dan menjadi pemandu senam setiap pagi di halaman sekolah. Dalam acara-acara
keagamaan di sekolah seperti peringatan hari besar Islam (PHBI) aku hampir selalu kebagian
tugas sebagai panitia.
Namun, semua prestasi belajar dan beberapa jabatan kesiswaan yang aku pegang, entah mengapa
tidak mampu membuatku tampil lebih percaya diri, atau paling tidak sedikit mengangkat rasa
percaya diriku. Aku tidak merasa bangga dengan segala prestasi dan jabatan tersebut. Sebaliknya
aku malah sering merasa terbebani dengan berbagai tugas dan jabatan yang aku pegang. Aku tidak
merasa bangga dengan diriku sendiri, aku selalu menganggap orang lain lebih baik dariku. Aku seperti
biasanya, sebagai anak pendiam dan pemalu yang selalu merasa rendah diri. Aneh ya?! Tapi itulah
kenyataanya yang aku rasakan. Kenyataan lainnya, aku tidak pernah bisa akrab dengan guru. Hal ini
ini juga merupakan salah satu penyebab perasaan rendah diriku.
Tak terasa, enam tahun sudah aku menuntut ilmu di sekolah dasar. Selain menuntut ilmu
aku juga belajar bergaul dan berinteraksi di lingkungan yang lebih luas. Tibalah saatnya aku
meninggalkan sekolah dengan segala kenangan manis dan pahitnya. Aku berhasil lulus dengan nilai
terbaik. Selankutnya aku akan melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP).
|