Sebelum melanjutkan kisah pengalamanku ini, akan aku ceritakan sekilas tentang propil
dan pola didik orangtuaku serta sejauh mana pengaruhnya terhadap perkembangan karakter
dan kepribadianku.
"Propil Orangtuaku"
ORANG TUAKU hanya lulusan sekolah dasar (SD). Namun mereka banyak belajar dari pengalaman pahit
getirnya kehidupan di pedesaan. Mata pencaharian pokok orang tuaku adalah bertani dan berdagang.
Mereka berdagang hasil bumi seperti buah-buahan dan sayuran yang ditanam di kebun milik sendiri
yang tidak seberapa luas. Hasil dari bertani dan berdagang tersebut cukup untuk biaya hidup
keluarga dan biaya sekolah aku dan adiku.
Walaupun keluarga kami bukan termasuk keluarga berada secara materi, orangtuaku terutama ayahku
cukup dihormati di lingkungan kampungku. Ayah merupakan salah seorang tokoh masyarakat yang sering dimintai
pendapat dan pandangannya oleh orang-orang di kampungku.
Keharmonisan keluarga kami sering dijadikan contoh teladan oleh keluarga lain. Hampir tidak
pernah terjadi perselisihan atau percekcokan diantara anggota keluarga kami. Semua itu tak lepas
dari figur ayah yang tegas dalam mendidik dan mengarahkan istri dan anak-anaknya. Ayahku merupakan
kepala keluarga yang membuat rencana dan keputusan menyangkut semua masalah keluarga. Sedangkan
ibuku hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Selain mengurus anak, ibu juga membantu ayah bekerja
di sawah dan kebun. Ibuku tergolong pendiam dan penurut. Ibu hampir tidak pernah menentang
segala keputusan ayah. Tidak seperti ayah yang tegas dan keras dalam mendidikku, ibu cenderung
memanjakan aku. Ibu selalu menuruti keinginan anak-anaknya. Jarang sekali ibu memarahi anak-anaknya,
bahkan hampir tidak pernah. Kalau kelewat kesal oleh ulahku dan adiku paling-paling ibu hanya
menangis.
Ayah yang Idealis
Hal lain yang ingin aku katakan tentang ayahku, menurut penilaianku ia termasuk tipe orang tua
idealis (kalau aku tidak keliru mendevinisikan istilah "idealis"). Ayah memandang kehidupan dengan
apa adanya dan tidak neko-neko. Menurutnya hidup harus dijalani sesuai kemampuan yang kita
miliki. Boleh punya keinginan yang tinggi, tapi harus disiuaikan dengan kemampuan, tidak terlalu
ambisi dan memaksakan diri. Ayah lebih menekankan hidup sederhana tapi jujur, bersih dan tidak
melanggar aturan, baik aturan agama maupun aturan masyarakat.
Nasihat ayah yang sering aku dengar adalah, "Jalani hidup sederhana dan apa adanya, sesuaikan
keinginan dengan kemampuan." Namun, bukan berarti aku tidak boleh bercita-cita tinggi. "Boleh
saja bahkan bagus jika kamu punya cita-cita setinggi langit, tapi kamu juga harus melihat
batas kemampuanmu," kata ayah. "Jika kamu tidak jadi "jeneng" (orang sukses), jangan malu
jadi orang kecil. Jangan malu jadi petani atau pedagang. Karena itu di samping sekolah kamu
juga harus belajar bertani dan berdagang, agar nanti jika jadi petani atau pedagang tidak
canggung lagi," demikian nasihat ayah.
Aku ingin cerita sedikit soal cita-cita. Anda mungkin sering mendengar pertanyaan sperti ini,
"Cita-citamu ingin jadi apa?" Anak lain mungkin akan menjawab dengan spontan dan
lugas, ingin jadi dokter, pilot, atau polisi misalnya. Aku sendiri sering bingung menjawab
pertanyaan seperti itu. aku tidak bisa menentukan dengan jelas, apa sebenarnya cita-citaku,
ingin jadi apa aku nanti. Sejak SD sampai SMA, aku tidak tahu persis apa cita-citaku, apa
harapan dan tujuan hidupku di masa depan. Aku seperti berjalan tanpa tahu arah yang dituju.
Mengapa bisa begitu, ya? entahlah!
"Pola Didik Orangtua"
Ayahku sangat tegas dan keras dalam mendidik anak-anaknya. Aku paling takut kalau ayah sudah
marah. ayah selalu menasihatiku—sepertinya tak pernah bosan—untuk hidup sederhana
apa adanya dan sesuai kemampuan. Selain itu ayah juga selalu wanti-wanti agar aku selalu
jujur dalam sikap, perkataan maupun tindakan, serta rendah hati dan tidak sombong walaupun
punya kelebihan. Rajin belajar dan tekun beribadah, menurut ayah adalah bekal hidup di dunia
dan di akhirat kelak. Diantara nasihat-nasihat ayah yang paling ditekankan—sering sekali
diucapkan—adalah, agar aku selalu bersikap rendah hati dan tidak sombong walaupun punya
kelebihan. Ungkapan yang sering dikatakanya, "Berpura-puralah bodoh walaupun kamu pintar."
Ayahku bukan sekadar menasihati dengan kata-kata, ia juga mengawasi setiap gerak dan langkahku
dengan ketat, bahkan terkesan protektif. Jika sikap dan tindakanku dianggapnya salah, ayah
akan segera mengingatkanku, dengan ucapan maupun tindakan.
Berikut akan aku kemukakan beberapa contoh.
Ayah sangat keras melarangku merokok dan bermain judi, walau hanya sekadar main-main. Dia akan
marah jika melihatku mencoba-coba menghisap rokok kakekku misalnya.
Pernah suatu ketika di kampungku ada hajatan khitanan. Sudah jadi kebiasaan jika ada hajatan
di kampung, hampir selalu ada bandar judi Sintir (piringan kayu bertuliskan 12 angka, semacam
Rollet di Amerika sana) yang buka lapak. Judinya rakyat pedesaan semacam Togel. Iseng-iseng aku
memasang nomor dengan uang logam lima rupiahan yang dikasih ayah untuk bekal nonton. aku pikir
ayah tidak akan tahu, karena aku terselip diantara kerumunan banyak orang yang mengelilingi
lapak judi sintir tersebut. Saking ayiknya aku sama sekali tidak mengetahui ayahku sudah berada
di belakangku. Aku baru sadar saat jari-jari tangan ayahku menjewer telingaku sambil mengajaku
pulang. Sepanjang jalan dari tempat hajatan sampai ke rumah ayah terus mengomeli aku, sampai
telingaku terasa panas.
Begitulah gambaranya, gerak-gerik, sikap dan tindakanku hampir selalu berada dalam pengawasanya,
di sekolah, di rumah, maupun di lingkungan masyarakat. Ayah akan segera mengingatkan jika
dianggapnya aku melakukan kekeliruan dalam sikap maupun tindakan. Peringatanya dari mulai
nasihat lembut, peringatan keras sampai jeweran. Namun sekeras apapun ia mendidikku, hukuman
paling keras yang aku terima hanya sekadar jeweran, tak lebih dari itu. Seingatku, tak pernah
sekalipun ayah memukulku. Namun, kata-kata kadang lebih dalam efeknya dibanding pukulan.
Walaupun ayah tegas dan keras dalam mendidiku, bukan berarti ia otoriter. Ia sering mengajaku
berdiskusi dan bertukar pikiran tentang sesuatu masalah. Ia biasanya meminta pendapatku
mengenai suatu hal. Setelah aku kemukakan pendapatku, baru ayah menyampaikan pendapatnya dengan
panjang lebar sampai aku memahami masalahnya.
Aku akui cara ayah mendidikku disatu sisi relatif berhasil menjadikan aku anak 'baik-baik'.
Aku menjadi anak penurut dan tak pernah membuat masalah yang menyusahkan orang tua, baik di
rumah maupun di luar rumah. Prestasi belajarku di sekolah juga bisa dibanggakan. Di lingkngan
masayarakat (khususnya di kampungku) aku sering dijadikan contoh teladan para orang tua bagi
anak-anak mereka. Beberapa orangtua bahkan ada yang menanyakan kepada ayahku, bagaimana
caranya mendidik anak agar anaknya menjadi anak baik dan berprestasi seperti aku.
Namun, segala sesuatu selalu ada sisi baik dan buruknya. Disamping kelebihan selalu ada
kekurangan. Demikian pula pola didik ayahku, ada sisi baiknya seperti yang aku paparkan
di atas, ada juga sisi buruknya.
Aku mengatakan ini sama sekali bukan bermaksud mencari-cari kekurangan dan kelemahan ayahku
sendiri. Bukan pula mencari kambing hitam atas problem-problem kejiwaan yang aku alami. Aku
hanya ingin mengemukakan suatu analisa berdasarkan pengetahuan dan pengalaman batinku sendiri.
Analisa ini bisa benar, bisa keliru bahkan bisa salah dan tentu saja sifatnya sangat
subyektif. Selebihnya apa pun yang menimpa diriku adalah tanggung jawabku sepenuhnya sebagai
pribadi.
Dengan segala hormat atas kebaikan ayah dan ibuku yang tak ternilai dan tak akan pernah terbalas,
aku akan mencoba mengungkapkan kelemahan-kelemahan pola didik orangtuaku dan efek negatifnya
terhadap perkembangan kejiwaanku.
Pertama, karena ayahku selalu mengatur dan mengawasi sepak terjangku dengan ketat, tanpa
sadar aku terbentuk menjadi pribadi penurut yang hanya menunggu perintah dan arahan. Akibatnya
kreativitasku kurang berkembang. Aku selalu ragu, takut salah, dan kurang punya inisiatif
dalam bertindak, serta kurang berani mengambil resiko. Hal ini dikemudian hari ternyata sangat
menghambat perkembangan karakter dan kepribadianku.
Kedua, Ayah kurang memberiku kesempatan untuk bersosialisasi (bermain dan bergaul) di
lingkungan masyarakat, terutama sejak aku masuk SMP. Sepulang sekolah aku sudah harus bekerja
(menggembala domba dan menyabit rumput) dan baru pulang sore hari menjelang Maghrib. Hari Minggu
dan hari libur pun aku tidak diperbolehkan santai di rumah atau bermain. Jika aku meminta waktu
untuk bermain, ayah selalu bilang, "Setelah enam hari sekolah, hari libur waktunya kamu membantu
pekerjaan orang tua." Ayah juga jarang mengijinkan aku pulang agak siang (sekitar jam 3 atau
jam 4 sore) sekadar untuk berolahraga (Bola Voley) di lapangan bersama teman-temanku. Jadi aku
hampir tak punya waktu untuk bermain dan bergaul. Waktuku hanya untuk belajar dan bekerja.
Aku bisa memahami mengapa ayah kurang memberiku ruang dan waktu untuk bermain dan bergaul.
Biaya sekolah aku dan adiku semakin besar, itu berarti ayah harus bekerja lebih keras lagi
untuk menambah penghasilan. Sedangkan kemampuanya secara fisik sudah semakin menurun dengan
bertambahnya usia. Jika mengupah orang lain berarti menambah pengeluaran. Karena itu
ayah memintaku membantunya sekadar meringankan beban pekerjaanya yang semakin berat.
Karena aku kurang bergaul alias "kuper", kemampuanku dalam berkomunikasi dan berinteraksi
kurang berkembang dengan baik. Aku juga kurang luwes dalam bergaul. Hal ini pada akhirnya—tanpa
aku sadari—membuatku minder dan kurang percaya diri.
Namun, tentu saja pola didik orang tua buka satu-satunya penyebab problem-problem kejiwaanku.
Ada faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi, diantaranya adalah, dasar kepribadianku yang
pendiam, pemalu dan tertutup serta lingkungan pergaulanku yang sangat terbatas dan tergolong
kolot.
Penafsiran yang berlebihan atau Terlalu Polos?
KADANG aku sendiri menafsirkan nasihat-nasihat ayah secara berlebihan atau mungkin
terlalu polos. Dibawah ini akan aku kemukakan beberapa contoh.
Ayah selalu wanti-wanti agar aku tidak sombong dan besar kepala walaupun aku memiliki kelebihan
dibanding orang lain. "Berpura-puralah bodoh walaupun kamu pintar," demikian pepatah yang sering
ayah ucapkan. Maksud ayah agar aku tidak sombong dan selalu rendah hati. Ajaran moral yang ideal
dan luhur. Aku menafsirkan dan mempraktikan nasihat tersebut agak berlebihan atau mungkin terlalu
polos. Di sekolah maupun di lingkungan masyarakat aku selalu berusaha merendahkan diri dan
menyembunyikan kemampuan yang aku miliki. Aku suka berpura-pura tidak tahu walaupun sebenarnya
aku tahu. Mungkin, (lagi-lagi sebuah analisa pribadi) karena aku selalu berusaha untuk
tidak menonjolkan diri dan menyembunyikan kelebihan yang aku miliki, tanpa sadar aku malah
benar-benar tidak merasa bangga atas segala kelebihan yang aku miliki. Sebaliknya, aku malah lebih
fokus melihat kelemahan dan kekurangan yang aku miliki. Akibatnya aku menjadi pribadi yang
kurang percaya diri.
Demikian sekilas tentang Propil dan Pola Didik orang tuaku serta pengaruhnya terhadap perkembangan
karakter dan kepribadianku.
Sampai disini Anda sekalian mungkin bisa menilai, sejauh mana pola didik orang tua terutama
ayahku mempengaruhi perkembangan kejiwaanku? Apa saja kelebihan dan kelamahanya, sisi baik
dan buruknya?
Komentar, kritik dan saran Anda aku tunggu. Komentar yang menarik akan ditampilkan di halaman
situs ini.
silahkan kirimkan komentar, kritik dan saran Anda melalui e-mail: sivalintar@yahoo.com.
|
|