"Masa Transisi yang Penuh Tekanan"
Masuk SLTP
Aku memulai babak baru kehidupan pribadiku. Sekarang aku sudah mengenakan seragam putih biru,
aku bukan anak-anak lagi tapi sudah beranjak remaja. Aku mulai memasuki lingkungan pergaulan
yang lebih luas, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP/SMP).
Aku memilih masuk ke sekolah swasta (SMP Islam) bukan ke sekolah negeri (SMP Negeri). Semua itu
atas keinginanku sendiri dan dorongan orangtuaku. Ayahku berharap, dengan masuk ke sekolah swasta
islam aku bisa memperoleh dasar pendidikan agama yang kuat. Aku masuk SMP Islam bersama dua
orang teman sekampung yang juga teman sekelas waktu di SD.
Minggu pertama duduk di bangku SMP, aku sudah membuktikan prestasi belajarku cukup baik. Saat
tes Penataran P4 (sekarang sudah tidak ada lagi), aku mendapat nilai tertinggi dari semua siswa
kelas satu. Aku selalu ingat saat-saat yang membahagiakan dan membanggakan tersebut. Sejak saat itu
aku mulai manjadi perhatian siswa-siswa lain dan para guru.
Bulan pertama di SMP, aku belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan baru tersebut.
Aku merasa sangat bergairah dan bersemangat. Walaupun aku tergolong siswa pendiam dan pemalu
tapi ternyata aku cukup mampu beradaftasi. Aku sudah mulai akrab dengan
beberapa orang teman sekelas terutama teman pria. Untuk teman wanita aku baru akrab dengan
satu-dua orang saja, itupun karena si wanita tergolong agresif. Jika dengan teman-teman sekelas
aku sudah mulai akrab, lain halnya dengan guru, aku masih sangat kikuk jika berhadapan dengan
guru. Belum ada seorang pun guru yang terbilang akrab denganku.
Semester pertama kegiatan belajar mengajar aku merasa sangat bersemangat dan menikmatinya. Di sekolah
aku tidak banyak mambuang waktu untuk bermain dan dan bersantai. Jam-jam belajar di kelas aku
manfaatkan sebaik mungkin untuk menyerap setiap ilmu yang diajarkan para guru. Jika jam istirahat
tiba, saat teman-teman lain bersantai dan bercanda diluar kelas atau di kantin, aku lebih memilih
membaca buku di halaman belakang sekolah yang sepi dan tenang.
Rutinitas di Rumah dan di Sekolah
Bukan hanya di sekolah aku fokuskan waktu untuk belajar, di rumah pun aku manfaatkan waktu sebaik
mungkin untuk belajar. Dalam hal mengatur waktu di rumah, ayahku tergolong tegas dan ketat padaku.
Sepulang sekolah aku tidak diperkenankan berleha-leha dirumah. Selesai makan aku harus segera
berangkat kerja. Setelah menyiapkan perlengkapan dan bekal secukupnya, aku ajak 'teman-temanku'
(beberapa ekor domba) berangkat ke lokasi penggembalaan. Perlengkapan dan bekal yang aku bawa
antara lain: sepikul keranjang rumput, sabit, seember cucian, buku, nasi atau kue pengganjal
perut dan tak ketinggalan sebuah radio transistor mungil untuk mendengarkan berita, musik dan
hiburan lainnya. Lumayan lengkap bukan?
Lokasi penggembalaan biasanya di kebun-kebun kosong atau di pesawahan di sekitar pinggiran kampung.
Di lokasi tersebut biasanya banyak terdapat rumput hijau makanan lezat domba-dombaku. Sepanjang
perjalanan menuju lokasi penggembalaan domba-dombaku berjalan beriringan membuntutiku menyusuri
jalan setapak yang berkelok-kelok dan naik turun. sekitar setengah jam perjalanan aku sampai
di lokasi gembalaan. Di pinggir areal persawahan yang bulir-bulir padinya sudah mulai menguning. Mahari tampak
sedikit bergulir ke barat, teriknya terasa menyengat kulit. Aku biarkan domba-domba lapar itu
menyantap rumput-rumput hijau sepuasnya. Aku turun menuju sumur yang berada di tengah sawah
untuk mencuci seember pakaian kotor yang aku bawa. Selesai mencuci dan menjemur pakaian, aku mencari tempat yang
teduh dibawah pepohonan di pinggir sawah.
Dibawah pohon rambutan yang rindang dan sejuk, semilir angin lembut persawahan terasa menyegarkan
tubuh. Beralaskan selembar daun pisang aku duduk sambil mengawasi domba-domba yang asyik merumput.
Aku hidupkan radio transistor, aku cari siaran berita, musik dangdut atau dongeng sunda acara
siaran faforitku. Sambil mendengar alunan musik dangdut yang mendayu-dayu, aku membuka buku-buku
pelajaran yang aku bawa. Aku baca kembali materi pelajaran yang diajarkan tadi pagi di sekolah.
Matahari makin condong ke barat, angin sawah berembus agak kencang, terik matahari tak terasa
menyengat lagi. Domba-dombaku masih merumput dengan lahap, malah semakin lahap walaupun perutnya
sudah tampak buncit. Sesekali mereka menoleh ke arahku, seakan khawatir ditinggal pulang bosnya.
Sekitar jam lima sore, semua pekerjaan sudah beres. Cucian sudah kering, semua buku sudah selesai
aku baca dan keranjang rumput sudah terisi penuh.
Hari sudah semakin sore, matahari sudah tersembunyi di balik pepohonan di tebing sebelah barat
persawahan. Para petani yang bekerja di sawah sebagian sudah beranjak pulang. Sebagian lagi masih
tampak membersihkan badan dan pakaian yang penuh lumpur di sumur kecil di tengah persawahan.
Aku pun beranjak pulang, teman-teman dombaku berlarian mengikutiku. Mereka tampak sudah
kenyang dan puas, pulang dengan perut buncit.
Sesampainya di rumah, setelah teman-temanku berbaring santai di kandangnya, aku segera mandi
dan ganti pakaian. Aku sudah duduk di ruang makan, siap menyantap masakan yang sudah ibuku
siapkan. Saat adzan maghrib berkumandang, aku sudah duduk tenang di dalam langgar. Langgar
sederhana tempatku belajar mengaji dan menimba ilmu-ilmu agama itu hanya berupa bangunan panggung
berukuran sekitar 5 x 3 meter. Langgar itu hanya hanya berdinding dan berlantai bilik
bambu yang sudah tampak lauk dan bolong disana sini. Dengan penerangan lampu minyak tanah,
aku dan beberapa orang teman mempelajari ilmu-ilmu agama dengan tekun dan khidmat. Guru ngaji
kami adalah juga guru kami di SD. Sepulang dari mesjid, biasanya aku langsung masuk kamar, untuk
belajar. Aku baca dan pelajari buku-buku pelajaran yang akan dipelajari besok harinya. Diterangi
lampu cempor (lampu minyak tanah) aku belajar dengan penuh semangat selama sekita 30 sampai
60 menit. Selesai belajar sekitar jam 9 malam, aku langsung tidur.
Saat terdengar sayup-sayup suara adzan subuh berkumandang di langgar, aku bangun dan langsung
mandi. Setelah sholat subuh, sambil menunggu datangnya pagi, aku baca kembali buku-buku
pelajaran yang aku baca semalam. Sekitar jam 6.30, bersama teman-teman sekampung aku berangkat
ke sekolah menumpang kendaraan umum. Jarak sekolah dari kampung kami sekitar 6 km. Kami naik
kendaraan umum hanya sampai pasar, dari pasar ke sekolah yang jaraknya sekitar 1 km biasanya
kami jalan kaki. Bisa juga sih naik becak, tapi berarti tambah ongkos. Aku lebih suka jalan
kaki, jarang sekali naik becak, alasanya ya itu tadi, ngirit ongkos.
Sesampainya di sekolah biasanya aku hanya duduk santai sambil ngobrol di luar kelas atau di
mesjid sekolah. Jika masih ada waktu, sambil menunggu bel tanda masuk berbunyi, aku buka kembali
buku pelajaran, aku baca sekilas sekadar untuk mengingatnya. Saat bel berbunyi, kami semua
berhamburan masuk kelas masing-masing untuk memulai kegiatan belajar. Di ruang kelas aku lebih suka
memilih tempat duduk di barisan paling depan, agar bisa dengan jelas mendengar dan menyimak semua
materi pelajaran yang disampaikan para guru. Sedangkan sebagian teman-teman—terutama
teman pria—lebih suka memilih tempat duduk di barisan belakang. Alasan mereka, agar tidak
terlalu menjadi fokus perhatian guru, setengah menyembunyikan diri dari pandangan guru. Karena
biasanya siswa yang duduk di barisan depan atau yang mudah terlihat guru, paling sering ditunjuk
untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas. Namun, aku justru senang jika disuruh menjawab
pertanyaan atau mengerjakan tugas, karena aku memang sudah mempersiapkan diri untuk itu. Jika jam
pelajaran usai, biasanya aku langsung pulang, kecuali ada kegiatan ekstrakulikuler.
Seperti itulah gambaran detail aktivitas sehari-hariku di sekolah maupun di rumah. Biasa-biasa
saja bukan? Tidak ada yang istimewa. Aktivitas yang normal dilakukan anak-anak remaja seusiaku.
Anda sekalian mungkin bisa menilai, apa yang kurang dari aktivitas sehari-hariku?
Atau mungkin anda menemukan hal-hal tak wajar yang aku lakukan?
|
|