Mari kita lanjutkan kisahnya. Mudah-mudahan Anda sekalian tidak bosan membacanya, karena tidak ada yang istimewa dari kisah ini. Kisah biasa dari orang biasa.


Gejala Depresi mulai menampakan diri

Tahun pertama di SMP, segalanya masih berjalan dengan baik. Aku belajar beradaftasi di lingkungan baru tersebut. Ternyata si pendiam dan pemalu ini cukup mampu menyesuaikan diri dengan baik. Dalam hal belajar aku juga sangat bersemangat, bahkan bisa dibilang menggebu-gebu. Aku bertekad mengulangi sukses belajarku seperti di sekolah dasar, syukur-syukur bisa meningkatkanya lebih baik lagi. Hasil usaha kerasku memang tidak mengecewakan, semangat belajarku yang menggebu-gebu berbuah manis, saat kenaikan kelas (naik ke kelas 2) aku berhasil menjadi ranking satu di kelas. Bukan hanya itu, aku bahkan menjadi ranking tiga umum. Bukan main bahagia dan bangganya aku saat itu. Ayahku yang sebelumnya jarang memuji prestasi belajarku, kali ini menyampaikan pujian dan ungkapan kebahagiannya padaku. Dari raut wajah dan sorot matanya aku tahu, ayah bahagia sekaligus bangga padaku. Teman-teman sekelasku pun mengucapkan selamat dan pujian atas prestasiku. Hari itu sepertinya hanya miliku, semua orang di sekolah seakan tersenyum padaku. Hari penuh kebahagiaan yang tak akan pernah aku lupakan.

Hasil baik tahun pertama prestasi belajarku di SMP membuatku semakin bersemangat belajar. Aku ingin meningkatkan prestasi belajarku lebih baik lagi. Aku berambisi, akhir semester tiga nanti aku harus bisa menjadi juara satu umum. Itu artinya aku ingin menjadi yang terbaik dari seluruh siswa di sekolah tersebut. Aku begitu yakin bisa mencapainya.

Di sekolah, diluar jam belajar seperti sebelum masuk kelas atau saat istirahat aku manfaatkan untuk belajar. Begitu pula di rumah, jam belajar aku tambah. Pendeknya, setiap waktu luang baik di sekolah maupun di rumah aku gunakan untuk belajar dan belajar. Sampai-sampai aku hampir tak punya waktu lagi untuk bermain atau bersantai. Aku melakukan semua itu dengan penuh semangat dan keyakinan.

Lalu bagaimana hasilnya?

Kali ini hasilnya ternyata mengecewakan!
Sama sekali tidak sesuai dengan harapanku. Padahal sebelumnya aku begitu yakin, dengan menambah jam belajar aku bisa meningkatkan prestasi lebih baik lagi. Walaupun masih menjadi yang terbaik di kelas, tapi aku terlempar dari tiga besar juara umum. Posisiku direbut oleh kakak kelasku.

Kecewa sekali aku rasanya saat itu. Jerih payah dan kerja kerasku belajar selama satu semester tidak membuahkan hasil. Prestasiku bukanya meningkat, malah sebaliknya menurun. Aku pikir, apakah kemampuan otakku hanya sebatas itu? Sehingga sekeras apa pun aku belajar hasilnya mungkin tidak lebih dari itu. Ataukah cara belajarku yang salah? Kecewa, marah, malu dan putus asa berbaur menjadi satu, membuatku merasa gagal. Kegagalan meraih tujuan, membuahkan kekecewaan yang mendalam, dan muara dari semua itu adalah perasaan tertekan.

Padahal, seandainya waktu itu aku berpikir jernih dan berlapang dada menerima kenyataan, aku tidak perlu merasa terlalu kecewa. Toh, aku sudah berusaha semampuku, bahkan mengerahkan segenap kemampuan untuk meraih tujuan. Kalau hasilnya ternyata tidak seperti yang diharapkan, bukankah kita sebagai manusia hanya bisa berusaha, tuhanlah yang menentukan hasilnya? Sayang, aku tak mampu berpikir jernih waktu itu, yang ada hanya perasaan kecewa karena gagal.


Aku sampai pada suatu kesimpulan, kekecewaan mendalam karena kegagalan meraih tujuan merupakan salah satu faktor pemicu gangguan kejiwaan (depresi) yang aku alami. Depresi yang menggerogoti pikiran, perasaan, sekaligus tubuhku sampai bertahun-tahun kemudian. Aku sebut salah satu, karena mungkin ada faktor-faktor lain yang turut menjadi penyebabnya. Tepat sekali apa yang ditulis Dr. Surya, "Secara psikologis depresi terjadi karena interaksi antara peristiwa yang terjadi tiba-tiba dan menekan dengan beberapa ciri kepribadian yang kurang memadai."
Peristiwa menekanya adalah kegagalan mencapai tujuan, sedangkan salah satu ciri kepribadianku yang kurang memadai adalah rendahnya rasa percaya diri.



Sejak itu, mulailah babak baru dalam lembaran hidupku. Babak baru bukan dalam artian positif, tapi negatif. Aku sudah positif menderita depresi, walaupun baru tahap depresi ringan atau depresi terselubung—Namun saat itu aku sama sekali belum menyadari. Aku merasakan terjadi perubahan dalam diriku: pikiranku tidak menentu, cemas, gelisah, takut dan sedih tanpa alasan yang jelas. Perasaanku sangat sensitif, kurang bersemangat dan mudah lelah dalam melakukan segala aktivitas, di sekolah maupun dirumah. Selain itu, kemampuanku berkomunikasi juga terganggu, aku jadi sulit berbicara, bingung dan tidak tahu harus berbicara apa. Biasanya aku suka bercanda dan ngobrol apa saja dengan teman-teman di sekolah maupun di rumah. Namun, sejak itu aku jadi lebih suka berdiam diri dan malas ngobrol apalagi bercanda.

Yang paling membebani pikiranku adalah munculnya keyakinan-keyakinan aneh dan tak wajar tentang suatu masalah atau suatu obyek. Sebelumnya belum pernah aku rasakan. Keyakinan-keyakinan yang tidak rasional itu begitu kuat hingga mengalahkan keyakinan keyakinan rasionalku. Aku tahu dan sadar, keyakinan-keyakinan itu tidak wajar bahkan aneh, tapi aku tak kuasa menolak dan melepaskan diri darinya.

Gambaran detail mengenai keyakinan-keyakinan itu, silahkan klik link ini: [ Keyakinan-Keyakinan Aneh ]

Pikiran, perasaan dan keyakinan irasional yang menyiksa itu, aku rasakan saat di sekolah, di rumah dan dimanapun aku berada. Pola pemikiranya sama, yang berbeda hanya obyek pemikiranya saja. Sebagai contoh misalnya, di rumah aku sering merasa sedih dan kasihan melihat kedua orang tuaku yang bekerja membanting tulang untuk membiayai sekolahku dan adikku. Perasaan sedih yang tak wajar dan tak pernah aku rasakan sebelumnya. Pendeknya sejak itu aku berubah menjadi pribadi yang lebih pendiam, suka menyendiri, sulit berkomunikasi, sensitif dan emosional.

Aku sering bertanya pada diri sendiri: Apa yang terjadi dengan diriku? Mengapa pikiranku jadi seperti ini? Apa penyebab semua ini? Dan bagaimana cara mengatasinya?
Pertanyaan-pertanyaan yang membuatku bingung dan belum aku temukan jawabanya.

Gambaran detail mengenai pikiran, perasaan, dan keyakinan-keyakinanku saat itu serta gejala-gejala depresi terselubung yang nampak dalam berbagai aspek kepribadian (emosi, fisik, motorik dan kognitif), bisa Anda lihat di sini: [ Gejala-Gejala Depresi Terselubung ]

Ibarat benih-benih rumput yang terbenam di antara rumpun-rumpun padi. Saat pupuk ditaburkan, bukan hanya padi yang tumbuh subur, rumput pun ikut subur. Makin lama si rumput pengganggu tumbuh makin besar dan beranak-pinak, makin banyak pula mengambil jatah makanan si rumpun padi. Si rumpun padi yang tadinya tumbuh subur dan sehat, kini terganggu dan terhambat karena jatah makanannya digerogoti si rumput. Rumput tumbuh makin besar dan subur, sementara padi yang tadinya tumbuh subur, kini kurus dan merana.
Seperti itulah gambaran diriku, saat depresi mulai menggerogoti pikiran dan perasaanku.

Gejala-gejala depresi sudah menampakan wujudnya yang semakin jelas. Namun, ssmpai sejauh itu aku sama sekali belum tahu dan belum menyadari bahwa yang aku rasakan adalah gejala depresi. Aku masih menganggap semua itu hanya gejolak pikiran yang wajar dan normal saja. aku belum memahami apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku, apa penyebabnya dan bagaimana cara mengatasinya. Aku juga belum menceritakan kepada sipapun perihal derita batin yang aku rasakan itu.

Saat itu, walaupun kondisi jiwaku tidak menentu, kegiatan belajarku di sekolah maupun dirumah relatif belum terlalu terganggu. Aku masih bisa belajar dengan baik dan mampu mempertahankan prestasi akademisku. Bahkan pada semester keempat (naik ke kelas 3) aku berhasil meraih prestasi terbaik, menjadi bintang pelajar (juara 1 umum). Prestasi yang sebelumnya gagal aku raih dan membuatku kecewa berat.

Prestasi akademis itulah yang mungkin mampu mendongkrak kepercayaan diriku, serta membendung tekanan pikiran-pikiran negatifku sendiri akibat depresi yang aku derita. Karena selain prestasi belajar, aku tidak memiliki keahlian atau keterampilan lain yang bisa dibanggakan. Sebenarnya aku punya bakat yang jarang dimiliki orang lain yaitu bakat menggambar atau melukis. Namun, bakat alam itu tidak aku tekuni dengan sungguh-sungguh, aku biarkan saja berkembang secara alami dan apa adanya.





  Home  |  < halaman 6  |   halaman 8 >>
[ 7 ]