Anak Kampung yang Pendiam dan Pemalu
Secara keseluruhan penampilan pisikku tergolong biasa-biasa saja. wajahku tidak tampan,
tapi juga tidak jelek-jelek amat. Postur tubuhku paling kecil dan pendek diantara teman-teman
sekelasku. Tinggi badanku waktu itu hanya sekitar 140 - 150 cm saja. Tubuhku ramping mendekati
kerempeng. Penampilan fisikku sebenarnya cukup sempurna, artinya aku tidak punya kelainan secara
fisik maupun mental. Tapi aku juga tidak memiliki kelebihan yang bisa dibilang menonjol apalagi
istimewa.
Perkembangan tubuhku (tinggi badan) yang agak terlambat menjadi salah satu faktor penyebab
kurangnya rasa percaya diriku. Aku suka membanding-bandingkan postur tubuhku dengan teman
teman sebayaku di sekolah maupun di rumah. Salah seorang teman sekelasku yang juga teman
sekampung, waktu di SD badannya lebih pendek dariku, tapi ketika di SMP malah lebih tinggi
dariku. Soal penampilan fisik ini sebenarnya relatif tidak terlalu menjadi beban pemikiran yang
membuatku kurang percaya diri. Aku suka menghibur diri sendiri, "Walaupu badanku pendek dan
kecil tapi aku lebih pandai dan prestasi belajarku lebih baik dari mereka." Memang,
satu-satunya kelebihan yang aku miliki adalah kecerdasan otakku yang lumayan. Selain itu, aku
tidak punya keahlian atau keterampilan lain yang menonjol, dibidang olahraga atau seni misalnya.
Diluar kegiatan belajar, di sekolah aku kurang aktif dalam kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler
seperti olah raga, seni dan kepanduan (kepramukaan). aku juga tidak aktif dalam kegiatan-kegiatan
organisasi kesiswaan (OSIS). Pewnyebabnya ada dua faktor: faktor eksternal dan internal.
Faktor eksternalnya adalah masalah waktu dan lokasi. Sepulang sekolah aku harus bekerja
membantu orang tua. Selain itu juga karena jarak dari rumah ke sekolah yang cukup jauh
(sekitar 7 km).
Faktor internal, inilah faktor utamanya, watak dan kepribadianku yang pendiam dan
pemalu serta kurangnya rasa percaya diri. Selain itu, aku juga merasa kurang mampu berinteraksi
dan berkomunikasi dengan baik. Maklum aku hanya seorang kutu buku yang kuper.
Aku suka 'ngeri' jika membayangkan harus berbicara di depan kelas, berpidato dalam rapat-rapat
OSIS, atau berdiskusi dan berdebat dengan para siswa atau guru.
Sebenarnya aku ingin sekali bisa akrab dengan guru dan siswa-siswa lain (laki-laki maupun
perempuan), aktif dalam kegiatan-kegiatan OSIS, piawai berpidato dan berdiskusi dalam rapat
maupun forum diskusi. Tapi apa daya, aku selalu merasa malu dan kurang percaya diri. Aku
merasa kurang mampu melakukan semua itu.
Sulitnya Akrab dengan Perempuan
Salah satu diantara ketidakmampuanku dalam berinteraksi yang sering membuatku merasa minder
adalah aku kurang bisa bergaul dengan teman-teman perempuan khususnya teman sekelas. Saat
usiaku sudah memasuki masa fuber, namun disaat yang sama aku yang pemalu ini mengalami
kesulitan bergaul dengan perempuan. Teman sekelasku yang lebih separuhnya perempuan, bisa
dihitung dengan jari yang terbilang cukup dekat dan akrab denganku. Alamak!
Aku suka iri jika melihat teman-teman pria lain yang bersenda-gurau dengan teman perempuanya.
Dengan asyiknya mereka ngobrol diselingi canda tawa. Kadang aku suka kesal pada diriku sendiri,
"Mengapa sih, aku susah banget akrab dengan perempuan?"
Meski demikian keninginanku untuk dekat dan akrab dengan perempuan, saat itu belum terlalu kuat,
hanya sebatas keinginan yang normal dan wajar saja. Keinginan yang muncul seiring tumbuh dan
berkembangnya hasrat-hasrat alamiah seorang anak remaja yang baru memasuki masa fuber pertama.
Ketidakmampuanku dalam bergaul masih bisa aku imbangi dengan kemampuan dan prestasi
belajarku yang lumayan bagus dan bisa dibanggakan.
Kemampuanku Berinteraksi Kurang Berkembang
Karena watak dasarku yang pendiam dan pemalu itu, kemampuanku dalam berinteraksi kurang berkembang
dengan semestinya. Seperti sudah aku jelaskan sebelumnya, di sekolah aku tidak aktif dalam
kegiatan-kegiatan OSIS dan Kepanduan. Padahal, kedua kegiatan tersebut merupakan ajang untuk
melatih dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi sekaligus berorganisasi.
Alih-alih mempelajari dan melatih kecakapan berkomunikasi dan berorganisasi, aku malah cenderung
menghindari dan enggan terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang mengharuskan aku berhubungan dengan orang
banyak serta membutuhkan kemampuan berkomunikasi. Sikap dan tindakanku ini dikemudian hari baru aku sadari
ternyata keliru dan membuatku makin terpuruk dalam kubangan ketidak percayaan diri.
Semakin aku menghindari kegiatan-kegiatan sperti itu, semakin aku merasa cemas dan khawatir. Cemas
memikirkan ketidakmampuanku berinteraksi. kegagalan-kegagalan dalam berinteraksi pada
akhirnya membuatku merasa semakin tertekan. Suasana hati seperti ini menjadi lahan yang
subur untuk berkembang biaknya gejala-gejala depresi.
Ketika itu aku selalu mencari-cari alasan pembenaran atas sikap dan tindakan yang ternyata
keliru itu. Dan prestasi akademisku yang lumayan bagus dijadikan salah satu alasan pembenaran.
Aku sering berpikir, "Biarlah aku tidak pandai bicara, pemalu dan kurang pandai bergaul, toh
prestasi belajarku cukup bagus dan bisa dibanggakan." Jadi disatu sisi ketidakmampuanku dalam
berkomunikasi semakin mamacu semangatku untuk berprestasi lebih baik lagi, namun di sisi lain
prestasi belajar yang cukup menonjol itu dijadikan alasan untuk menutupi kekurangmampuanku
dalam berinteraksi.
Di kelas aku selalu menolak jika ditunjuk menjadi ketua kelas atau duduk dalam struktur organisasi
kesiswaan di kelas, karena aku tidak mau kalau nantinya harus memimpin barisan saat upacara,
atau memimpin rapat di kelas misalnya. Aku enggan mengikuti kegiatan-kegiatan yang mengharuskan
aku berhubungan dengan orang banyak. Aku merasa tidak memiliki keterampilan untuk melakukan
semua itu. Keadaan ini diperburuk oleh peristiwa-peristiwa memalukan yang sering aku alami
dan membuatku tertekan bahkan trauma.
Aku masih ingat, suatu pengalaman yang menurutku sangat memalukan dan membuatku trauma.
"Bingung dan Malu di Kantor BRI"
Suatu hari saat jam istirahat, wali kelas memanggilku untuk menghadap ke ruang kerjanya.
Waktu itu aku sudah duduk di bangku kelas 3 SMP. Aku bergegas menemui bapak wali kelas yang
ramah dan sederhana itu. Ternyata beliau memintaku untuk menyimpankan uang tabungannya di
bank BRI yang lokasi kantornya tidak jauh dari sekolah. Sepanjang perjalanan menuju kantor
bank BRI, aku terus berpikir, "bagaimana caranya ya, menyimpan uang tabungan di bank BRI,
karena aku belum pernah sekalipun masuk ke kantor bank, apalagi melakukan transaksi.
Kantor BRI itu berada di dalam kompleks kantor kecamatan yang jaraknya cuma sekitar 200 meter
dari sekolahku. Sesampainya di kantor BRI, dengan perasaan cemas serta jantung dag-dig-dug
kau segera masuk. Di dalam ruang kantor yang tidak terlalu luas itu aku celingukan bingung.
Ruang kantor itu terbagi tiga ruang dengan seorang pegawai di masing-masing ruangannya.
Beberapa orang nasabah terlihat duduk-duduk di ruang tunggu di bagian depan ruangan. Dua
orang nasabah (ibu-ibu paruh baya) berdiri di depan ruangan berdinding kaca, sepertinya
sedang menyimpan atau mengambil uang tabungan. Aku masih berdiri bingung, dengan ragu-ragu
aku melangkah maju, berdiri disamping si ibu yang berdiri tadi. Lalu aku sodorkan uang berikut
buku tabunganya kepada petugas bank yang tampak sedang sibuk itu.
"Dik, kalau mau nabung, ke ruang yang sebelah sana dulu, baru nanti ambil buku tabungannya
di sini!" kata petugas bank itu sambil tersenyum, seraya mengembalikan buku tabungan
itu padaku.
Aduh! Bukan main malunya aku saat itu! Darahku terasa mengalir deras ke ubun-ubun, jantungku
berdebar kencang, wajahku terasa panas. Semua mata sepertinya menatap ke arahku dan kakiku
terasa seperti tidak menapak di lantai. Mungkin orang-orang yang ada di ruangan itu melihat
wajahku yang memerah. Setelah sesaat aku termangu, aku berikan uang dan buku tabungan itu
kepada petugas bank di ruangan sebelahnya, lalu aku duduk menunggu giliran dipanggil.
Tak lama kemudian proses pengisian buku selesai. Setelah mengambil buku tabungan aku bergegas
keluar dari ruang kantor tersebut, kembali ke sekolah masih dengan perasaan malu.
***
Coba Anda perhatikan, peristiwa memalukan tadi sebenarnya bisa dialami oleh siapa saja,
bahkan mungkin dialami banyak orang. Akan tetapi aku menganggap peristiwa wajar dan biasa
itu sebagai peristiwa yang sangat memalukan. Mengapa demikian? Kadang aku bereaksi berlebihan
terhadap suatu peristiwa atau kejadian yang membuatku gugup, bingung atau malu. Selain itu,
aku juga sering merasa khawatir berlebihan tentang apa yang akan terjadi atau apa yang
akan dikatakan orang lain jika aku melakukan suatu perbuatan. Apalagi perbuatan itu baru
pertama kali aku lakukan.
Peristiwa yang aku ceritakan tadi, hanya salah satu diantara sekian banyak peristiwa
memalukan yang aku alami. Pengalaman-pengalaman negatif itu lambat laun tanpa aku sadari
mengendap menjadi semacam trauma. Aku selalu cemas dan khawatir pengalaman memalukan itu
akan terjadi lagi. Semua itu membuatku selalu berusaha menghindari situasi-situasi yang
aku anggap akan membuatku gugup, bingung atau malu, ketimbang mempersiapkan dan melatih diri
untuk menghadapinya. Pertanyaanya, apa sebenarnya yang aku khawatirkan? Apa yang aku
cemaskan? khawatir dipermalukan? Khawatir diolok-olok? Atau sebenarnya khawatir dan cemas
pada ketidakmampuanku sendiri?
Diluar kegiatan belajar, aku jarang ikut acara kumpul-kumpul dengan teman-teman,
di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Aku juga sering menolak jika diajak berkunjung
ke rumah salah seorang teman. Aku suka minder dan malu jika bertamu ke rumah teman, karena aku merasa
kurang tahu tata-krama dan etika bertamu. Maklum aku cuma anak kampung yang dibesarkan dan
dididik dalam lingkungan keluarga yang tergolong masih agak kolot dan kurang memahami etika
pergaulan kota (modern).
Begitu pula di rumah, aku jarang sekali bahkan hampir tak ada waktu untuk bermain dan begaul
dengan teman-teman sebayaku (lihat halaman 6,
"Rutinitas di Rumah dan di Sekolah").
Sepulang sekolah, aku langsung pergi menggembala sambil mencari rumput untuk makanan domba-dombaku.
Pulang sore hari menjelang maghrib. Malam harinya aku belajar mengaji dan belajar ilmu-ilmu
agama di langgar. Pulang mengaji langsung belajar, lalu tidur. Hari minggu dan hari libur pun
aku tak bisa santai atau main karena harus bekerja membantu orang tua. Jika dikampungku ada acara
hajatan atau hiburan, aku jarang sekali nonton. Karena itu teman-teman sekampungku menjuluki aku
"Si Ustadz" (sebutan untuk guru ngaji atau tokoh agama).
"Perpisahan"
Hari demi hari di sekolah (SMP) tak terasa sudah tiga tahun aku Jalani. Rasanya baru kemarin
aku memasuki gerbang sekolah ini, masih mengenakan seragam putih merah, diantar oleh ayahku
untuk mendaftar menjadi siswa baru.
Beragam peristiwa sudah aku alami, suka dan duka, sedih dan gembira, tertawa dan menangis.
Seiring bergulirnya waktu, masalah demi masalah datang dan pergi silih berganti. Lalu munculah
kecemasan, kekhawatiran, kesedihan dan keyakinan-keyakinan aneh yang tak jelas
asal-usulnya, menggerogoti pikiran dan perasaanku tanpa bisa aku hentikan.
Dengan segala macam kejadian yang aku alami, disertai campur aduknya gejolak pikiran, aku
masih mampu mengendalikan hidupku tetap berada di jalurnya yang benar—setidaknya begitulah
menurut keyakinanku. Buktinya aku masih bisa menunjukan kemampuan terbaikku (prestasi akademis)
dan mempertahankannya sampai hari-hari terakhir di sekolah itu. Saat pengumuman kelulusan
aku berhasil meraih NEM (Nilai Ebtanas Murni) tertinggi dari seluruh peserta ujian seangkatanku.
Sebuah akhir perjalanan yang cukup manis dan elegan. Sebelumnya aku sempat khawatir, tak akan
sanggup mencapainya karena berbagai gejolak pikiran dan perasaan yang menderaku.
Tibalah saatnya perpisahan. Aku harus meninggalkan sekolah tempatku dididik dan digembleng
dengan beragam ilmu pengetahuan. Tempatku menuntut ilmu-ilmu tentang hidup dan kehidupan.
Meninggalkan segala kenangan manis, pahit dan getir yang tak mudah dilupakan, bahkan mungkin
tak akan pernah terlupakan.
Aku akan berpisah dengan para guru, yang dengannya aku tak pernah bisa akrab. Berpisah dengan
teman-teman sekolah dengan segala kenangan tingkah polahnya yang kocak dan menghibur, yang
baik hati dan menyenangkan, atau yang suka usil, jahil dan menjengkelkan. Berpisah dengan
teman-teman perempuan, yang dengannya aku juga tak bisa benar-benar akrab, meski sudah
sekelas selama tiga tahun. Aku akan meninggalkan semuanya. Selanjutnya aku akan menapaki
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). Itu berarti
aku akan memasuki lingkungan pergaulan baru yang lebih luas lagi, dengan problematika yang
lebih kompleks pula tentunya.
Pembaca yang budiman, akhir kisahku di SMP, bukan akhir penderitaan batinku, tapi baru
merupakan awal kisah perjalanan hidupku dengan beban dan tantangan yang semakin berat.
Gejolak pikiran dan perasaanku makin dahsyat, menekan dan membenamkan aku kedalam kubangan
derita batin yang makin dalam.
Sekarang, mungkin Anda sekalian sudah bisa memahami—paling tidak punya gambaran—
gejolak pikiran, perasaan dan keyakinan-keyakinan aneh yang aku rasakan.
Jika Anda ingin memberi komentar, saran atau kritik silahkan kirim melalui e-mail:
sivalintar@yahoo.com.
|
|