Teman-teman pengunjung sivalintar.com yang budiman, perkenankan aku melanjutkan kisah pengalamanku, kisah biasa dari orang biasa. Mudah-mudahan kisahku ini tidak sekedar ungakapn pengalaman batin semata yang hanya enak untuk dibaca tetapi tidak berarti apa-apa bagiku maupun orang lain. Aku berharap kisah ini bisa memberi inspirasi sekecil apapun itu, bagi siapa saja yang membacanya



Merenung Sejenak


Raut mukanya murung, tatapan matanya kosong, air matanya meleleh membasahi pipinya yang agak kotor terkena debu. Bibirnya bergetar menggumamkan sesuatu, lirih hampir tak terdengar, "Ya Tuhan, betapa berat cobaan yang Engkau berikan ini."


Sebelum melanjutkan kisah pengalamanku ini, aku ingin mengajak anda merenung sejenak. Mengajak (imajinasi) anda mengunjungi sebuah desa yang sunyi dan tenang. Bayangkan, suatu sore anda berdiri dipinggir pesawahan dengan hijaunya hamparan padi. Daun-daun padi itu bergoyang searah hembusan angin yang terasa sejuk. Lihatlah ke seberang sawah sebelah sana, lurus di hadapan anda, beberapa ekor domba yang tampak montok dan sehat sedang merumput dengan lahapnya di pematang-pematang pinggir sawah.

Di bawah pohon rambutan yang rindang, duduk seorang remaja tanggung memperhatikan domba-domba gembalaanya, tangannya memegang sebuah buku. Lihatlah lebih dekat lagi, ternyata si gembala domba ini tidak sedang mengawasi domba-dombanya, dan buku yang dipegangnya sama sekali tidak dibacanya. Raut mukanya murung, tatapan matanya kosong, air matanya meleleh membasahi pipinya yang agak kotor terkena debu. Bibirnya bergetar menggumamkan sesuatu, lirih hampir tak terdengar, "Ya Tuhan, betapa berat cobaan yang Engkau berikan ini." Suara alunan musik dangdut yang mendayu-dayu dari radio transistor kecil yang selalu dibawanya mengembala, sama sekali tidak mampu menghiburnya. Tak ada yang mampu menghiburnya, meredakan gejolak batinnya yang makin tak terkendali.

Seorang anak desa yang sepulang sekolah pekerjaanya hanya menggembala domba dan menyabit rumput-yang bahkan belum kenal istilah psikologi, tiba-tiba harus menghadapi kenyataan pahit, menderita gangguan bipolar kronis. Penyakit jiwa yang sama sekali tidak dipahaminya, tidak diketahui apa penyebabnya, tidak tahu cara mengatasinya, bahkan tidak tahu harus berbuat apa. Kian hari penyakit itu kian ganas mengoyak-ngoyak pikiran dan perasaannya. Saat gejolak batinnya makin tak terkendali, yang mampu dilakukannya hanya menangis. Ia tak berani menceritakan derita jiwanya kepada orang lain, termasuk kepada teman dan sahabat dekatnya. Bahkan kepada orang tuanya sendiri pun ia tak berani bercerita.

Anda ingin tahu lanjutan kisah si gembala domba penderita manic depressive ini? Silakan buka halaman berikutnya.


Obrolan di Gubug Sawah

Sore itu cuaca mendung, sepertinya tidak lama lagi akan turun hujan lebat. Hamparan padi yang mulai menguning tampak bergoyang-goyang ditiup angin. Musim tanam sekarang sepertinya padi tidak sebagus seperti musim tanam yang lalu. Walaupun setahun lebih aku tidak pernah melihat sawah orang tuaku yang tidak seberapa luas, tapi suasananya tampak tidak banyak berubah, bahkan hampir sama seperti saat 14 tahun yang lalu, saat aku sedang menderita depresi berat.

Gubuk tempatku berteduh sekarang masih tetap ditempatnya seperti dulu. Bedannya kalau dulu bertiang bambu dan beratap ilalang, sekarang bertiang kayu dan beratap genting. Namun tampak sudah tua, setua ayahku yang setiap hari berteduh, melepas lelah sehabis bekerja di sawah. Dulu aku sering tidur dengan ayah di gubuk ini, menunggui padi yang baru dipanen. Selain menanam padi, di pematang sawah ayah juga menanam bermacam-macam jenis sayuran, sekedar untuk dimasak sendiri. Ayah juga memelihara beberapa ekor itik di kolam kecil di bagian atas petakan sawah yang tidak ditanami padi.

Sore itu aku sengaja menemui ayah di sawah, sekedar untuk ngobrol. Hari itu aku ambil cuti jadi aku bisa leluasa ngobrol tentang segala hal dengan ayah. "Kalau melihat suasana di pesawahan ini, ada rasa getir," kataku seraya melihat sekeliling sejauh batas pandangan mata. "Aku suka ingat masa lalu, saat aku menderita gangguan jiwa dulu, pak!"
Ayah hanya diam mendengar gumamanku, namun aku yakin ayahku ingat keadaanku 14 tahun yang lalu.

"Setelah aku banyak membaca buku, surat kabar dan majalah, sekarang aku tahu nama penyakit itu," kataku melanjutkan tanpa menunggu tanggapan ayah. "Penyebabnya sampai sekarang memang tidak jelas, tapi salah satu kemungkinan penyebabnya adalah faktor keturunan."

"Memang, bapak juga dulu pernah mengalami walaupun tidak separah kamu," kata ayah, "Mendengar sedikit saja omongan orang yang tidak enak, ayah selalu memikirkan."

"Dari buku-buku, majalah dan surat kabar yang aku kumpulkan dan aku pelajari, sekarang aku sudah tahu penyakit apa yang aku derita itu. Namanya gangguan Bipolar, disebut juga manic depressive," kataku menjelaskan.

"Syukurlah sekarang kamu sudah sembuh," kata ayah singkat. Lalu kami berdua sama- sama diam.

Obrolan kami berlanjut kepada pembicaraan mengenai pekerjaanku dan seputar masalah-masalah keluarga. mengobrol seperti inilah yang sering kami lakukan saat-saat aku sakit dulu. Kami sering melakukannya berjam-jam bahkan sampai larut malam. Aku merasakan dialog-dialog seperti ini bisa mengurangi beban pikiranku. Dalam melalui saat-saat getir seperti itu ayahku telah menjadi penasihat, konselor, motivator, sekaligus sahabat dan teman curhatku. Saat itu mungkin hanya ayahku yang bisa memahami keadaanku, memahami gejolak jiwaku, walaupun tidak sepenuhnya. Aku bersyukur punya seorang ayah yang bijaksana. Kesabaran dan perhatiannya saat aku menghadapi masa-masa sulit luar biasa. Tanpa perhatian, nasihat dan bimbingannya yang penuh kasih sayang aku tidak tahu akan seperti apa kondisi jiwaku saat itu. Terima kasih ayah!

Hari sudah semakin sore, mendung tampak semakin tebal menggulung, sepertinya hujan akan segera turun. Aku pamit pulang pada ayah. Aku melewati jalan setapak yang dulu sering aku lewati pergi-pulang ke sawah. Ingatanku kembali ke masa 14 tahun yang lalu, saat-saat yang penuh kesedihan dan kegetiran. Aku ingat, saat itu aku baru selesai melaksanakan ujian akhir, dulu disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Aku tinggal menunggu pengumuman kelulusan dan tidak lama lagi aku akan memasuki lingkungan sekolah baru, aku akan melanjutkan ke SMA.


Menjelang Masuk SMA

Setelah kelulusan sampai menjelang masuk SMA, kondisi kejiwaanku bukannya membaik, tapi sebaliknya semakin memburuk. Setelah pengumuman kelulusan, menjelang acara perpisahan dan kenaikan kelas bagi siswa kelas 2 dan kelas 1, untuk mengisi kekosongan waktu (saat itu menjelang bulan Ramadhan) sekolah menyelenggarakan kegiatan keagamaan "Pesantren Kilat" biasa disingkat "Sanlat". Pesertanya gabungan siswa SMP dan SMA Islam yang masih dikelola oleh yayasan yang sama. Sanlat dimulai sejak hari pertama bulan Ramadhan selama seminggu. Pesertanya berjumlah sekitar 30 orang, putra 20 orang dan putri 10 orang. Pengajar dan penceramahnya guru-guru SMP dan SMA tersebut. Ada juga penceramah dari sekolah lain.

Selama seminggu kami digembleng ilmu-ilmu keislaman. Kegiatan belajarnya meliputi diskusi, kajian Al-Qur`an dan Hadits serta materi-materi keislaman lainnya. Metode dan materi pelajarannya menarik sebenarnya, kebanyakan berupa ceramah dan diskusi-diskusi keagamaan. Namun, justru di sinilah masalahnya bagiku. Aku melihat dan menilai peserta lain—terutama siswa SMA—begitu aktif berdebat dalam forum-forum diskusi, beradu argumentasi dengan peserta lain dan stap pengajar. Mereka juga tampak akrab dengan para pengajar. Sedangkan aku, seperti biasa merasa rendah diri di hadapan mereka semua, karena aku merasa tidak pandai berdiskusi dan berdebat apalagi baradu argumentasi. Di ruang belajar aku lebih banyak berdiam diri. Aku juga merasa kurang mampu bergaul dengan staf pengajar maupun dengan peserta lain. Semakin aku pikirkan semakin aku merasa minder. Setiap hari yang aku pikirkan bukannya materi-materi pelajaran agama, aku malah lebih memikirkan ketidakmampuanku berkomunikasi dan berdebat di forum diskusi. Jadilah, hari-hari di Sanlat aku jalani dengan perasaan minder dan tertekan.

Kepercayaan diriku benar-benar anjlok. Betapa tidak, aku yang tadinya cukup percaya diri dengan prestasi belajarku di sekolah, melihat kemampuan peserta-peserta lain, terutama siswa-siswa SMA di forum Sanlat, aku merasa tidak memiliki kelebihan apa-apa. Aku merasa menjadi peserta Sanlat paling pasif. Aku benar-benar merasa menjadi peserta yang paling bodoh.
Selesai mengikuti Sanlat selama sepekan penuh, aku memperoleh wawasan dan pemahaman-pemahaman tentang ilmu-ilmu keagamaan. Namun dibalik itu aku mendapati diriku yang merasa tersisihkan dan kurang percaya diri.





Halaman :   1 -  2 -  3 -  4 -  5 -  6 -  7 -  8 -  9 -  10 -  11 -  12 -  13 -  14 -  15 -  16



  Home  |  < halaman 8  |   halaman 10 >>
[ 9 ]