Akhir di SMA, Bukan Akhir Deritaku



Untuk bangkit dari keterpurukan yang begitu dalam ternyata tidak mudah. Untuk merubah keyakinan-keyakinan yang telah tertanam kuat dalam pikiran, butuh usaha ekstra keras yang menguras energi, butuh ketekunan, keuletan, kegigihan dan semangat pantang menyerah.


Dengan berakhirnya kegiatan belajarku di SMA, dengan segala suka dan dukanya, berakhirkah derita jiwaku? Belum!
Aku hanya bisa mengatakan, kondisi jiwaku baru pulih 50 persen saja! Walaupun intensitas tekanannya mulai menurun, derita jiwaku masih terus berlangsung. Aku masih harus berusaha keras untuk mengendalikan dan mengatasinya.


Gagal Melanjutkan ke Perguruan Tinggi

Setelah lulus SMA aku berniat melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN), tapi aku bingung akan melanjutkan ke PTN mana dan jurusan apa. Aku sudah cerita sebelum ini, bahwa aku suka bingung jika ditanya soal cita-cita. Aku tidak punya cita-cita dan tujuan hidup yang jelas. Dengan prestasi akademis yang buruk di SMA sebenarnya aku tidak punya banyak pilihan. Aku juga tidak terlalu berharap bisa diterima di PTN, apalagi PTN pavorit seperti yang dipilih calon-calon mahasiswa lain. Akhirnya dengan ragu, aku ikut Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan memilih Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung, sebagai tujuan.

Seperti sudah aku duga sebelumnya, aku gagal masuk PTN tujuanku. Kecewa, sedih dan marah rasanya menerima kegagalan yang menyakitkan itu. Namun, aku sadar kemampuanku memang sangat terbatas, kemampuan akademis maupun finansial. Meski demikian aku tidak patah orang, aku akan mencoba ikat UMPTN lagi tahun depan. Ayah juga memberiku kesempatan sekali lagi. Jika tahun depan aku gagal lagi, aku harus mengubur keinginanku untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, karena kalau harus kuliah di perguruan tinggi swasta-dengan biaya yang lebih tinggi tentunya-ayahku merasa tak sanggup untuk membiayainya.

Sambil menunggu dan mempersiapkan diri untuk mengikuti UMPTN tahun depan, untuk sementara aku bekerja di sawah dan kebun membantu ayah. Untuk meningkatkan penghasilan, selain mananam padi, kami mencoba menanam sayuran yang nilai jualnya cukup tinggi di pasaran, antara lain: mentimun, kacang panjang dan buncis. Ketiga jenis sayuran ini selain masa panennya sukup singkat (sekitar 3 bulan), peminatnya juga cukup banyak, sehingga kami tidak kesulitan menjualnya. Hasil budidaya komoditi pertanian ini ternyata cukup lumayan, bisa menambah penghasilan keluarga kami. Dengan demikian, sambil menunggu untuk mengikuti UMPTN tahun depan aku bisa mengumpulkan sedikit uang untuk biaya kuliahku kalau aku lulus nanti.

Setahun kemudian aku ikut lagi UMPTN. Aku mendaftar ke program D3 jurusan pertanian UNPAD Bandung. Aku pun tidak terlalu berharap keikutsertaanku di UMPTN yang kedua ini akan berhasil. Dan ternyata memang aku gagal lagi. Pupus sudah keinginan dan harapanku untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Meski demikian semangat belajarku tak pernah padam, dan mudah-mudahan tak akan pernah padam sampai kapan pun.


Permainan Bola Voli Membangun Fisik dan Mentalku

Dengan selesainya kegiatan belajarku di SMA, berarti lepas sudah sebagian beban berat pikiranku-mengurangi tekanan jiwaku. Selain itu, aku punya lebih banyak waktu untuk menekuni hobiku bermain bola voli. Hampir tiap sore aku melewatkan waktu untuk berlatih dan bermain di lapangan voli di kampungku. Aku juga hampir selalu ikut dalam pertandingan-pertandingan persahabatan maupun turnamen-turnamen bola voli ke luar daerah.

Selain berlatih bersama rekan-rekan satu tim, untuk meningkatkan fisik dan teknik aku juga punya jadwal latihan sendiri. Latihan fisik, meliputi: latihan pernapasan, kelenturan, ketahanan dan latihan beban. Latihan mental, dengan cara berlatih sendiri atau dengan teman-teman satu tim di tempat-tempat yang ramai dikunjungi atau dilewati banyak orang. Lari keliling desa atau melewati pasar biasanya kami lakukan tengah hari saat cuaca sedang panas-panasnya. Kami juga melakukan latihan-latihan lain yang kami anggap bisa mengurangi rasa malu saat bertanding. Bahkan, senior kami pernah menceritakan, ada seorang pemain yang berlatih mental dengan cara berlari dan meloncat-loncat di tengah keramaian pasar dengan hanya memakai celana pendek tanpa memakai kaus. Dan memang, masih menurut senior kami, seorang pemain profesional harus sanggup melakukan hal-hal seperti itu, namun tentu saja masih dalam batas-batas kesopanan.

Bagaimana? Apakah anda berani melakukan hal-hal memalukan seperti itu? Silakan coba!

Semua jenis latihan itu aku lakukan dengan gairah dan semangat tinggi, karana aku ingin menjadi pemain yang tangguh fisik dan mental serta disegani kawan maupun lawan. Latihan kerasku tidak sia-sia dan mulai membuahkan hasil, kemampuan fisik dan teknikku berkembang pesat. Latihan-latihan fisik itu juga mempengaruhi perkembangan tubuhku dengan sangat baik. tinggi badanku yang semula baru sekitar 160 cm, sekarang sudah bertambah tinggi menjadi sekitar 170 cm, dengan berat badan 65 kg. Tinggi dan berat badan yang cukup ideal untuk seorang pemain bola voli. Otot-otot tubuhku juga tumbuh dengan baik, dari seorang remaja bertubuh pendek, kecil dan kerempeng, kini aku sudah berubah menjadi seorang pemuda bertubuh atletis. Penampilan fisikku ini berpengaruh positif terhadap kondisi kejiwaanku. Sekarang aku tidak lagi merasa minder, aku semakin percaya diri, aku bangga pada penampilan dan kemampuan fisiku.

Pembaca yang budiman, sebelumnya aku ingatkan, penuturan dan pembahasan mengenai hobiku ini agak panjang dan mungkin bertele-tele, mudah-mudahan anda sekalian tidak bosan membacanya sampai selesai, karena aku akan mencoba menggali dan menganalisis apa dan bagaimana kaitan atau pengaruh gerak fisik dalam olah raga khususnya bola voli terhadap kondisi kejiwaanku. Hobi yang aku tekuni ini, erat kaitannya dengan proses penyembuhan kesehatan mentalku.
Mari kita mulai mencoba menggali dan menganalisisnya.


Aspek Fisik, Psikis, dan Sosial Permainan Bola Voli

Awalnya aku menekuni olah raga permainan bola voli ini hanya karena aku senang saja melakukannya. Aku menyukai olah raga ini bahkan sejak masih di Sekolah Dasar (SD). Akan tetapi, karena fostur tubuhku yang kurang mendukung, kecil dan pendek, saat main aku lebih sering jadi bahan tertawaan dan ejekan.

Tanpa aku sadari, kesenanganku bermain voli ini menjadi semacam terapi yang cukup ampuh dan efektif memulihkan kesehatan mentalku. Menurut analisaku, paling tidak apa yang aku lakukan itu berpengaruh positif terhadap 3 aspek, yaitu aspek fisik, mental dan sosial. Berikut akan aku uraikan analisaku yang lebih detail mengenai ketiga aspek tersebut.

Analisaku ini tentunya hanya berdasarkan pengalamanku sendiri dan sedikit pengetahuanku seputar masalah-masalah kejiwaan. Apa yang aku uraikan nanti bukan hasil riset atau kajian akademis yang mendalam tentang hubungan antara kegiatan olah raga dengan kesehatan mental seseorang. Untuk itu aku mengajak anda sekalian untuk ikut menganalisa uraianku ini, memberi saran dan masukan. Karena mungkin anda bisa menganalisanya lebih tajam dan mendalam di banding aku. Bukan tidak mungkin, dengan pengetahuan dan wawasan anda yang lebih luas, anda bisa menemukan hal-hal yang unik dan spesifik dari kisah pengalamanku ini, silakan!


Aspek Fisik
Secara sederhana bisa dijelaskan, olahraga apa pun jenisnya, akan membuat tubuh kita bugar dan sehat. Otot-otot tubuh lebih lentur dan kuat, sirkulasi darah dan sistem metabolisme tubuh lebih lancar, serta organ-organ tubuh lebih sehat dan terawat, termasuk salah satu organ tubuh paling vital yaitu otak. Ketika berada di arena pertandingan, bukan hanya fisikku yang aktif bergerak mengikuti arah pergerakan bola, otakku juga dirangsang untuk berpikir dan mengambil keputusan dengan cepat, tepat dan akurat. Seorang pemain yang baik bukan hanya menguasai teknik permainan, tapi juga harus menguasai taktik permainan. Ini membutuhkan kerja otak yaitu kecerdasan dan kecerdikan.

Jika permainan tim kami jelek dan poin kami tertinggal, manager kami sering berkomentar dengan nada emosi, "Mainnya pake otak dong! Jangan hanya mengandalkan pukulan prontal, gunakan pukulan tipuan!"

Saat bermain kami bukan hanya mengerahkan serluruh kemampuan fisik-meloncat setinggi-tingginya dan memukul bola sekeras-kerasnya-tapi juga mengerahkan kemampuan otak (berpikir). Mengukur kemampuan lawan, mencari kelemahan dan kelengahannya dan membuat keputusan dengan cepat dan akurat. Coba anda bayangkan, saat aku akan meloncat untuk memukul bola di atas net, aku harus bisa mengukur arah dan ketinggian bola, posisi badan harus berada di belakang bola dengan jarak yang tepat, disaat yang sama aku harus bisa melihat dan memperkirakan ke arah mana bola itu harus dipukul agar tidak terblok pemain lawan. Dan saat itu juga aku harus memutuskan apakah bola harus dipukul dengan sekeras-kerasnya atau dipukul dengan lemah (tipuan) namun mematikan. Aku harus berpikir dan mengambil keputusan dalam beberapa detik, dari saat aku meloncat sampai bola itu aku pukul.

Jika keputusanku tepat, maka bola akan jatuh di titik sasaran tanpa bisa dijangkau pemain lawan. Namun, jika keputusanku keliru, bola bisa menyangkut di net, terblok dan mental ke daerah permainan sendiri atau bola melenceng dan jatuh di luar lapangan. Gerak otot dan otak ini dalam satu set saja bisa dilakukan sampai puluhan kali. Bila sehari aku main 3 sampai 5 set saja, berapa puluh bahkan berapa ratus kali aku melakukan gerakan itu dalam seminggu atau sebulan. Itu baru satu contoh gerakan saja yaitu menyemes atau memukul bola. Masih banyak lagi gerakan-gerakan lain yang aku lakukan dalam satu set permainan.

Sering aku dan timku harus melakukan gerakan-gerakan tersebut di bawah tekanan mental yang berat. Coba anda bayangkan, jika saat aku akan memukul bola itu, angka pada kedudukan 14-13, match point untuk tim lawan, betapa berat tekanan mental yang aku rasakan. Kalah menangnya tim kami berada di tanganku. Jika aku salah mengambil keputusan atau aku gugup dan melakukan kesalahan sendiri, maka tim kami kalah. Jika aku tenang dan bisa mengambil keputusan yang tepat, berarti masih ada kesempatan tim kami menang.

Disaat ketegangan memuncak, sementara keputusan berada di tanganku, kalah menangnya tim berada di tanganku, bukankah semua itu membutuhkan tidak hanya kerja otot dan otak yang maksimal, tapi juga membutuhkan kekuatan mental yang kokoh? Dan hal seperti itu bisa terjadi puluhan bahkan ratusan kali selama aku dan timku bermain. Menurutku ini sangat baik untuk kesehatan otot dan otakku. Saat aku sedang bermain, seluruh organ tubuhku termasuk otak dirangsang untuk bekerja optimal, mengerahkan seluruh kekuatan dan kemampuan terbaik yang aku miliki.

Untuk mencapai semua itu seorang pemain harus melakukan latihan-latihan fisik dan mental secara intensif, teratur dan terus-menerus serta harus memiliki pengalaman bertanding sebanyak mungkin. Seorang pemain yang terlatih dan berpengalaman, akan mampu membuat keputusan dan tindakan yang tepat dan akurat disaat yang tepat, bahkan disaat-saat paling kritis sekalipun.

Lalu, apa kaitan dan pengaruh gerak fisik dan otak dalam olahraga yang aku lakukan terhadap kondisi kejiwaanku? Berikut akan aku coba jelaskan semampuku.

Gerakan-gerakan fisik bisa membuat otot-otot tubuhku lebih lentur dan kuat, serta organ-organ tubuhku lebih sehat dan terawat, termasuk organ paling vital yaitu otak. Bukan tidak mungkin, gerakan-gerakan fisik sekaligus gerakan otak yang aku lakukan secara intensif, teratur dan terus-menerus, mampu menetralisir ketidakseimbangan biokimia dalam otak (salah satu kemungkinan faktor penyebab gangguan kejiwaan, khususnya depresi dan manic depressive).


Aspek Mental
Dalam sebuah pertandingan, seorang pemain tidak hanya dituntut memiliki kemampuan fisik dan teknik prima, ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya yaitu faktor mental. Seorang pemain yang bermental tangguh, akan bermain dengan gigih, ulet, dan pantang menyerah sampai-detik-detik terakhir pertandingan. Dalam situasi kritis, kekuatan mental pemain dan tim secara keseluruhan akan sangat menentukan kalah atau menangnya sebuah tim.

Berikut akan aku kemukakan sebuah contoh pengalamanku sendiri bersama tim. Dalam partai final sebuah turnamen, tim kami berhadapan dengan tim tangguh yang kemampuannya setara dengan tim kami. Permainan berlangsung seru dan tegang. Perolehan angka susul-menyusul dengan ketat. Kedudukan kami masih imbang dengan skor 2-2. pada set kelima yang merupakan set penentuan permainan semakin seru. Kami saling beradu taktik dan strategi, mengerahkan seluruh kemampuan fisik dan teknik. Ketegangan semakin memuncak saat angka pada kedudukan 14-13, match point untuk tim lawan. Anda bisa membayangkan ketegangan yang kami rasakan? Dengan kesalahan kecil saja berarti tim kami kalah hanya dengan selisih satu angka! Kekalahan yang sangat menyakitkan. Dalam situasi kritis seperti ini, kemampuan fisik dan teknik bukan lagi yang menentukan kalah menangnya sebuah tim. Yang paling berperan di sini adalah ketahanan mental seorang pemain dan tim secara keseluruhan.

Jika kami tegang dan gugup-karena mental kami lemah-kami bisa melakukan kesalahan dan tim kami kalah. Jika kami tetap tenang, bisa mengendalikan emosi dan meredakan ketegangan, kami bisa berpikir jernih dan membuat keputusan yang tepat dan akurat. Jika demikian, tim kami punya kesempatan membalikan keadaan-paling tidak menunda kekalahan-dan memenangkan pertandingan. Kemenangan yang manis dan membanggakan. Kami bukan hanya menang secara fisik dan teknik tapi juga menang mental. Sebagai sebuah tim kami punya kebanggaan tersendiri jika bisa memenangkan pertandingan dalam situasi demikian.

Sebaliknya kami akan merasa sangat terpukul jika kalah. Kekalahan yang sangat menyakitkan. Namun kalau pun kami kalah, pada akhirnya kami bisa menerima apa pun hasil akhir sebuah permainan. Kalah dan menang adalah hal biasa dalam permainan.

Sebagai seorang pemain, aku sering menghadapi situasi-situasi kritis seperti di atas. Agar mampu menghadapi situasi seperti itu, aku dan rekan-rekanku dilatih-untuk yang satu ini mungkin lebih tepatnya melatih diri-untuk bersikap tenang, mampu menguasai emosi, mampu berpikir jernih dan akhirnya mampu mengambil keputusan yang tepat disaat yang tepat. Bukan hanya melatih mental masing-masing pemain, tapi mental tim secara keseluruhan. Kami dilatih dan melatih diri untuk menjadi pemain sekaligus tim yang tangguh dan bermental baja.


Bermain dan Ekspresi Diri
Saat sedang bermain aku bisa mengekspresikan diri dengan lugas, lepas dan leluasa. Saat meloncat setinggi-tingginya dan memukul bola sekeras-kerasnya-aku biasa memukul bola sambil berteriak-sebenarnya aku bukan hanya melepaskan energi fisik, tetapi sekaligus melepaskan energi psikis. Di arena pertandingan aku bisa mengekspresikan kegembiraan, kepuasan, kekecewaan, kekesalan bahkan kemarahan dengan lugas dan leluasa, dalam batas-batas etika permainan tentunya.

Anda mungkin sering menyaksikan beragam ekspresi seorang pemain dalam suatu pertandingan, apakah pertandingan beregu atau perorangan. Seorang pemain sepak bola, misalnya, melompat sambil mengepalkan tinju, berteriak, berlari kepinggir lapangan atau menari-nari setelah menjebol gawang lawan. Seorang pemain tenis yang membanting raketnya karena kalah bertanding. Ada pula pemain yang tertunduk lesu bahkan menangis di lapangan karena dikalahkan lawan dengan cara yang menyakitkan. Banyak lagi ekspresi kegembiraan atau kekecewaan seorang pemain di arena pertandingan.

Aku sendiri, sudah jadi kebiasaan suka berteriak keras jika berhasil memukul bola dengan telak dan keras. Saat pukulanku mampu menjebol dan luput dari blokir lawan dan jatuh dengan keras di arena permainan lawan, aku merasakan kepuasan dan kebanggaan yang luar biasa. Atau jika aku mampu memblok pukulan lawan, hingga bola mental kembali dan jatuh di daerah lawan, aku suka menatap tajam wajah si smester. Aku merasa telah menundukan lawan ditengah lapangan, aku merasa sangat puas.

Selain itu, seorang pemain juga dituntut mampu menahan dan mengendalikan diri untuk tidak meluapkan kegembiraan secara berlebihan. Dan sebaliknya mampu meredam kekecewaan, kekesalan atau kemarahan jika gagal atau salah dalam melakukan suatu tindakan.

Sebagai seorang pemain dan bagian dari tim, aku harus mempu mengendalikan diri dan menguasai emosi saat bermain. Tidak mudah terpancing oleh cemoohan, ejekan atau provokasi pihak lawan. Tetap tenang dan tampil elegan di lapangan. Aku juga harus mampu menjalin kerjasama serta menjaga kekompakan tim. Selain itu, sebagai tim yang 'sehati dan sejiwa', kami juga tidak boleh saling menyalahkan antar pemain di dalam maupun di luar lapangan. Jika aku melakukan kesalahan, dengan sportif aku mengakui kesalahanku dan meminta maaf. Begitu pula jika rekan setimku yang lain melakukan suatu kesalahan, alih-alih mencemooh atau memarahinya, kami akan memberinya dorongan semangat dan dukungan.

Aku-dan juga rekanku yang lain-sering mengalami, dalam sebuah pertandingan melakukan kesalahan fatal yang membuat tim kami kalah. Aku kesal, kecewa dan merasa bersalah. Dalam situasi demikian biasanya rekan-rekanku menghampiri dan menghiburku. "Sudahlah, namanya juga permainan, harus ada yang kalah dan yang menang. Yang penting, kita telah menunjukan kemampuan terbaik kita." Begitu biasanya rekan-rekan menghiburku.

Walaupun menyakitkan, pada akhirnya kami bisa menerima kekalahan dengan lapang dada, mengakui keunggulan lawan. Kematangan mental seorang pemain bukan hanya ditunjukkan pada saat meraih kemenangan, tapi juga saat menderita kekalahan. Kekalahan, kami jadikan cambuk untuk melakukan koreksi dan evaluasi, apa dan di mana letak kelemahannya dan apa yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Selanjutnya kami berlatih kembali untuk terus-menerus meningkatkan kemampuan individu pemain maupun tim secara keseluruhan.

Dalam sebuah pertandingan, seorang pemain selain harus mampu menjaga stabilitas mentalnya masing-masing, juga harus mampu menjaga stabilitas mental tim secara utuh dan menyeluruh, dari awal sampai akhir pertandingan. Dengan ketahanan fisik dan kemampuan teknik yang mumpuni serta mental yang kokoh, sebuah tim akan mampu mengembangkan strategi permainan yang efektif dan jitu. Dan hasilnya-jika bukan karena faktor nasib-kemenangan akan bisa diraih. Kalaupun kalah, kalah dengan cara terhormat, keluar dari arena pertandingan dengan kepala tegak. Untuk mencapai semua itu dibutuhkan latihan-latihan insentif, teratur dan berkesinambungan, baik latihan fisik, teknik maupun mental.

Latihan-latihan yang aku lakukan serta pengalaman-pengalaman fisik dan mental yang aku rasakan di arena pertandingan, tanpa aku sadari telah membawa pengaruh positif terhadap kondisi kejiwaanhku. Aku lebih mampu mengendalikan diri dan menguasai emosi. Di lapangan, aku bisa mengekspresikan diri dengan lugas dan leluasa. Membebaskan diri dari tekanan-tekanan mental yang selama ini membebani pikiran, mengikis pikiran-pikiran negatif dan memupuk pikiran-pikiran positif. Kegembiraan, kebahagiaan, kebanggaan, dan kepuasan batin di arena pertandingan, telah mendorongku untuk lebih bangga dan menghargai diri sendiri, menerima kekurangan dan kelebihan diri sendiri serta menghargai orang lain. Percaya pada kemampuan sendiri dan tidak memandang rendah diri sendiri dan orang lain. Itulah beberapa pengaruh positif faktor psikis dari kegiatan olahraga yang aku lakukan.


Aspek Sosial
Dalam arena latihan tim (di lapangan sendiri), terjadi interaksi antara sesama pemain, antara pemain dengan pelatih dan antara pemain dengan suporter. Dalam olahraga permainan tim seperti bola voli. Seorang pemain tidak hanya dilatih dan melatih kemampuan masing-masing individu, tetapi juga berlatih bersama tim. Berlatih teknik dan taktik permainan, berlatih kerjasama dan kekompakan tim. Tim yang tangguh bukan hanya menonjolkan kemampuan individu pemain-walaupun ini juga penting-tapi menunjukan kerjasama antar pemain yang kompak dan solid. Senior kami sering mengatakan, bahwa sebuah tim yang kompak dan solid, hubungan antar pemainnya harus 'sehati dan sejiwa'. Ibaratnya minum segelas bersama dan makan sepiring bersama. Bukan hanya sebatas kerjasama di lapangan, tapi ada semacam ikatan batin antar pemain di dalam maupun di luar arena pertandingan. Jika di antara pemain sudah tertanam perasaan sehati dan sejiwa, di lapangan tidak akan terjadi saling menyalahkan antar pemain atau masing-masing pemain hanya ingin menonjolkan dirinya sendiri.

Dalam arena pertandingan seperti pertandingan persahabatan atau turnamen, terjadi interaksi yang lebih luas lagi. Interaksi antara pemain dalam satu tim, antara tim yang satu dengan tim yang lain, antara pemain dengan suporter dan antara suporter dengan suporter. Di lokasi pertandingan aku bertemu dan berkomunikasi dengan pemain-pemain dan supporter dari tim lain. Seorang pemain yang kemampuannya terbilang menonjol, biasanya dikenal dan disegani pemain maupun suporter tim-tim lain. Tim seperti ini biasanya sering menjuarai turnamen-turnamen di berbagai daerah.

Di arena pertandingan, dua tim saling berhadapan sebagai lawan, termasuk juga suporter masing-masing, berada pada posisi yang saling berhadapan. Setiap tim berusaha menampilkan kemampuan terbaiknya, kemampuan individu pemain, kerjasama dan kekompakan timnya, untuk memenangkan set demi set permainan. Berusaha menjadi yang terbaik untuk merebut mahkota juara.

Tak jarang, di lapangan kita saling gertak, saling meledek dan saling memprovokasi untuk menjatuhkan mental dan mengacaukan irama permainan lawan. Begitu pula supporter masing-masing tim, selain memberi semangat kepada tim kebanggaannya masing-masing, mereka juga saling meledek dan mencemooh. Bukan hanya itu, mencaci maki dan menunjuk-nunjuk muka pemain lawan sudah menjadi hal lumrah bagi para suporter. Namun, semua itu masih dalam batas-batas sportivitas dan etika pertandingan. Di sinilah, kemampuan fisik, teknik dan ketangguhan mental seorang pemain diuji. Karena jika seorang pemain sampai jatuh mental dan terpancing oleh provokasi pemain atau suporter lawan, maka irama permainannya akan kacau, dan irama permainan timnya juga akan terganggu. Jika sudah demikian, kekalahan hanya tinggal menunggu waktu.
Seorang pemain yang tangguh, matang dan berpengalaman tidak akan terpengaruh oleh ejekan cemoohan dan caci maki. Ia akan membalas semua itu dengan senyuman, acungan jempol dan tepuk tangan. Konsentrasinya terpusat pada jalannya permainan.

Namun, kalah dan menang adalah hal lumrah dalam sebuah permainan. Setelah bertanding "mati-matian" sampai "titik darah penghabisan", menguras seluruh kemampuan fisik dan teknik, saling menggertak dan memprovokasi, pada akhirnya salah satu tim harus menang atau kalah. Setelah wasit meniup peluit tanda pertandingan usai, kami saling berjabat tangan dan saling memeluk. Yang menang mengekspesikan kemenangannya dengan wajar dan etis, sedangkan yang kalah menerima kekalahannya dengan lapang dada. Saat pertandingan usai, lawan menjadi kawan, musuh menjadi sahabat. Ketika jumpa di luar arena, kami saling sapa dengan senyum dan kehangatan. Sungguh sebuah interaksi sosial yang manis dan menyegarkan, sesegar tubuh sehabis berlaga di arena. Semua itu biasa disebut dengan sebuah istilah yang sangat populer di dunia olahraga SPORTIVITAS.

Lalu apa kaitan dan pengaruhnya interaksi sosial di arena olahraga dengan proses penyembuhan gangguan kejiwaanku. Begini, saat aku berada di lapangan, berhadapan dengan lawan main, dikelilingi oleh para pendukung, aku merasa diterima dan diakui. Aku merasa diterima dan diakui sebagai bagian dari tim dan sebagai bagian dari permainan itu sendiri. Apalagi saat timku memenangkan pertandingan, antara pemain, ofisial dan pelatih saling memberi selamat. Para pendukung ikut bahagia dan bangga, memberi selamat dan mengeluk-elukan kami. Ada rasa bangga dan kepuasan batin, karena aku merasa telah memberi kebahagiaan dan kebanggaan kepada seluruh anggota tim dan kepada para suporter. Rasa berguna, rasa bangga, rasa diterima dan diakui, tanpa aku sadari telah mengikis bahkan mungkin menghapus rasa kesepian dan keterpencilan sosial yang selama ini aku rasakan. Rasa keterpencilan sosial merupakan salah satu faktor penyebab gangguan kejiwaanku.

Pada saat yang sama, kebanggaan dan kepuasan batin serta kemampuanku berkomunikasi-paling tidak di arena pertandingan-mampu mendongkrak kepercayaan diriku. Melalui olahraga aku punya banyak teman dan kenalan. Aku bisa bergaul dan berkomunikasi dengan sesama pemain dan penggemar bola voli, apalagi jika prestasiku tegolong menonjol. Ada kebanggaan tersendiri jika aku mengikuti turnamen di suatu daerah, tenyata mereka mengenal timku, itu berarti tim kami cukup dikenal dan disegani di daerah itu. Perasaan-perasaan bangga seperti ini, mampu membuatku tampil lebih percaya diri, baik saat berada di lapangan maupun di luar lapangan.


Kekagumanku

Dalam setiap turnamen aku suka memperhatikan sepak terjang beberapa pemain yang kemampuannya terbilang paling menonjol, baik kemampuan fisik, teknik maupun karakternya. Aku mengagumi seorang pemain dari sebuah tim tangguh yang sering menjuarai berbagai turnamen di daerahku. Sebut saja Tito namanya. Dia seorang spiker andalan timnya. Penampilan fisiknya sebenarnya biasa-biasa saja, malah cenderung kurang meyakinkan untuk seorang pemain voli. Badannya tinggi kurus, berkulit hitam. Orangnya sangat pendiam bahkan terkesan dingin. Namun dibalik penampilannya yang sederhana dan kurang meyakinkan itu, kemampuannya saat berada di lapangan luar biasa. Gerakannya tampak ringan dan gesit, pukulannya keras dan tajam, bahkan jarang bisa diblok pemain lawan. Tidak banyak bicara apalagi teriak-teriak di lapangan. Selalu tampak tenang dalam situasi apa pun. Ekspresi wajahnya hampir sama, apakah dia gagal atau berhasil melakukan suatu tindakan. Tidak terpancing oleh ejekan atau provokasi pemain atau suporter lawan. Namun jika dia berada di depan net, selalu membuat gentar lawan mainnya. Dia dikagumi dan disegani oleh kawan maupun lawan.

Aku juga ingin menjadi pemain yang matang dan tangguh seperti dia. Setelah aku menyaksikan sepak terjang dan penampilan si Tito ini di lapangan aku merenung dan bertanya pada diri sendiri. Ternyata orang-orang-termasuk diriku-menilai dan menghargai seseorang bukan melulu karena penampilan fisik atau kepribadiannya, tapi lebih karena kemampuan dan prestasinya. Aku mengagumi si Tito yang penampilannya biasa-biasa saja dan orangnya sangat pendiam itu, juga karena melihat kemampuan dan prestasinya di lapangan. Kalau aku bisa mengagumi orang lain, mengapa aku tidak bisa mengagumi dan menghargai diriku sendiri. Si Tito yang menurutku punya kekurangan, baik dari segi penampilan maupun kemampuannya berkomunikasi, tampak sangat percaya diri, mengapa? Sepertinya dia tidak terlalu mempersoalkan kekurangan dirinya, tapi lebih fokus mengembangkan kelebihan yang dimilikinya, keahliannya bermain voli yang luar biasa. Lalu mengapa aku tidak percaya diri, padahal penampilan fisik dan kemampuanku berkomunikasi, menurut penilaianku tidak lebih buruk dari si Tito? Nah, inilah masalahnya. Mungkin selama ini aku terlalu fokus melihat kekurangan dan kelemahanku sendiri, sampai-sampai aku tidak sempat dan kurang memperhatikan kelebihan yang aku miliki.

Jadi, agar aku tampil lebih percaya diri, aku harus bisa menerima dan tidak terlalu mempersoalkan kekurangan dan kelemahan diriku. Sebaliknya aku harus lebih memperhatikan dan mengembangkan kelebihan yang aku miliki. Kalau orang lain saja yang penampilannya tidak lebih baik dariku bisa sangat percaya diri, mengapa aku tidak?

Itulah tiga aspek (Fisik, Mental dan Sosial) dari aktivitas olahraga yang aku lakukan- dengan senang hati dan penuh gairah-yang tanpa aku sadari telah sangat membantu bahkan bisa dibilang berpengaruh besar terhadap proses pemulihan kondisi fisik dan psikisku.





Halaman :   1 -  2 -  3 -  4 -  5 -  6 -  7 -  8 -  9 -  10 -  11 -  12 -  13 -  14 -  15 -  16



  Home  |  < halaman 13  |   halaman 15 >>
[ 14 ]