Lingkungan Baru Yang Memberi Harapan



"Aku khawatir tidak mampu beradaftasi di lingkungan baru ini, karena kepercayaan diriku yang rendah dan kemampuan komunikasiku yang kurang memadai."


Penerimaan siswa baru di SMA sudah dibuka. Aku bersama teman-teman seangkatanku mulai mendaftarkan diri ke masing-masing sekolah yang dituju. SMA Negeri menjadi tujuan utama. Aku memilih mendaftar ke SMA Negeri Purwadadi karena lokasinya paling dekat dari kampungku, sekitar 3 km. Dengan NEM (Nilai Ebtanas Murni) yang cukup tinggi, tanpa kesulitan aku diterima menjadi siswa baru di SMAN Purwadadi. Aku ditempatkan di kelas elite bersama siswa lain yang rata-rata NEM-nya paling tinggi. Maka mulailah babak baru episode kehidupanku. Sekarang aku sudah menjadi siswa SMA. Aku sudah memasuki usia remaja menjelang dewasa, "masa paling indah dalam kehidupan seseorang". Benarkah demikian? Mungkin benar bagi orang lain! Tapi entahlah bagiku.

Seperti biasa sebelum kegiatan belajar-mengajar secara resmi dimulai, terlebih dahulu diadakan penataran P4 dan Orientasi Pramuka (tradisi zaman 'Orde Baru') sebagai masa pengenalan untuk siswa baru. Aku paling enggan sebenarnya mengikuti kegiatan-kegiatan seperti ini, karena dalam kegiatan ini siswa-siswa baru akan diuji fisik mental dan intelektualnya oleh kakak-kakak kelas. Kami dituntut untuk berani bicara, berani bertindak (seringkali yang aneh-aneh) dan tidak malu-malu. Hal terakhir ini yang jadi masalah bagiku. Anda tahu kan aku ini pendiam dan pemalu. Namun, gairah hidupku yang menggelora mamasuki lingkungan baru yang penuh harapan, mampu mengalahkan semua itu. Perasaan rendah diri dan gejolak perasaanku masih bisa aku kendalikan.

Di ruang kelas saat kakak-kakak kelasku sedang memberi arahan aku selalu berfikir, "Orang pemalu seperti aku tidak akan bisa bicara di depan kelas seperti itu." Aku merasa tidak punya keberanian untuk melakukan semua itu, aku hanya bisa menghibur diri, "Biarlah aku pendiam, pemalu, tak pandai bicara, dan tak pandai bergaul, toh prestasi belajarku cukup bagus. Aku akan membuktikan kemampuanku pada mereka." Kadang aku suka iri pada siswa lain yang begitu piawai bicara dan berdebat di ruang kelas. Sedangkan aku lebih banyak berdiam diri.

Pada hari terakhir pelaksanaan penataran P4, semua siswa berkumpul di lapangan untuk melaksanakan upacara penutupan. Tibalah saatnya panitia penataran P4 mengumumkan tiga orang siswa peraih nilai tertinggi-sehari sebelumnya telah diadakan tes tertulis materi-materi penataran P4. Jantungku berdebar keras, sepertinya semua siswa juga merasakan hal yang sama, menunggu pengumuman panitia. Ternyata namaku disebut sebagai peraih nilai tertinggi ketiga, peraih nilai tertinggi kedua dan pertama keduanya siswi yang juga masih satu kelas denganku. Begitulah awal pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di SMA, aku sudah bisa menunjukan prestasi yang cukup baik.


Segumpal Kekhawatiran

Di samping gairah belajar yang bergelora sebenarnya aku memendam kekhawatiran mengenai kondisi jiwaku yang tidak stabil, bahkan aku merasa suasana hatiku saat itu tidak lebih baik dari sebelumnya. Di lingkungan pergaulan baru ini, tuntutan akan kemampuan dan keluwesan bergaul semakin tinggi. Inilah masa transisi yang kritis, rentan dan penuh gejolak dalam kehidupan seseorang. Aku khawatir tidak mampu beradaftasi di lingkungan baru ini, karena kepercayaan diriku yang rendah dan kemampuan komunikasiku yang kurang memadai. Namun, dalam kegalauan aku selalu berharap kondisi kejiwaanku akan membaik, kepercayaan diriku akan pulih, dan aku bisa menunjukan prestasi belajarku yang bagus dan bisa dibanggakan.

Hari-hari pertama di SMA segalanya masih berjalan normal. Seperti biasa aku belajar menyesuaikan diri di lingkungan baru tersebut. Lingkungan baru yang penuh gairah, harapan sekaligus penuh tantangan. Aktivitas sehari-hariku di rumah dan di sekolah sebenarnya tidak banyak berubah. Bedanya, karena sekarang aku masuk sekolah siang, pagi harinya aku membantu orang tua bekerja di sawah dan ladang serta mencari rumput untuk domba-domba piaraanku. Di sekolah seperti biasa aku lebih banyak menyendiri dan berdiam diri. Datang ke sekolah aku langsung menuju mushola yang letaknya agak tersembunyi di bagian pojok komplek sekolah. Sedangkan teman-temanku yang lain lebih suka bergerombol, ngobrol sambil bersenda gurau di depan atau di dalam ruang kelas. Aku sendiri lebih suka membaca buku sambil menunggu bel tanda masuk berbunyi.


Gejala Aneh yang Membuatku Bingung

Walaupun kondisi psikisku semakin menurun, semester pertama di SMA aku masih bisa mempertahankan tradisi rangking atas di kelas, aku meraih rangking 2 dari 45 siswa. Hari-hari berikutnya kondisi kejiwaanku semakin memburuk. Saat itu aku merasakan sesuatu yang aneh, yang sama sekali tidak aku mengerti. Ada semacam pergantian suasana hati yang ekstrim antara suasana hati yang normal dengan suasana hati yang depresi (tertekan). Kondisi ini berulang-ulang dan silih berganti dengan interval waktu yang teratur. Seminggu aku mengalami depresi, seminggu atau dua minggu kemudian suasana hatiku kembali normal. Waktu itu aku sama sekali tidak tahu dan tidak mengerti, apa yang terjadi dengan diriku. Mengapa suasana hatiku berubah-ubah seperti itu? Gangguan jiwa jenis apa yang aku alami? Bagaimana cara mengatasinya? Aku terus bertanya-tanya dan berusaha mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku.

Selama bertahun-tahun aku berusaha mengatasi gangguan jiwa yang aku sendiri tidak tahu apa jenis dan namanya. Dan selama bertahun-tahun itu pula aku terus bertanya-tanya tanpa menemuan jawaban yang memuaskan. Yang aku tahu hanya bahwa aku menderita depresi. Ironisnya, aku baru tahu jenis gangguan jiwa yang selama ini aku derita justru setelah aku sembuh, 12 tahun kemudian, tepatnya akhir tahun 2001. Begini ceritanya, pertengahan September 2001, aku menerima kiriman beberapa eksemplar majalah Sedarlah! (majalah non komersial terbitan Watchtower Bible and Tract Society of New York Inc., yang edisi bahasa inggrisnya bernama Awake!). Tiap bulan secara rutin aku mendapat kiriman majalah mungil tersebut dari kantor cabangnya di Malaysia. Publikasi Sadarlah! edisi kedua bulan September 2001, artikel utamanya membahas tentang gangguan jiwa pada remaja, dengan judul artikel Bantuan bagi Remaja yang Depresi. Artikel selengkapnya bisa anda lihat di sini.

Salah satu bagian artikel tersebut, membahas sedikit tentang gangguan bipolar atau manic depressive. Itulah saat pertama kali aku tahu nama gangguan jiwa yang telah aku derita selama bertahun-tahun. Ternyata namanya adalah gangguan bipolar atau manic depressive. Aku baru tahu lebih jelas dan lengkap tentang gangguan bipolar ini, 3 tahun kemudian dari majalah yang sama, Sadarlah! edisi Januari 2004. artikel selengkapnya klik disini.

Mungkin anda bertanya-tanya, mengetahui jenis gangguan jiwa saja kok, sebegitu lamanya, sampai 12 tahun? Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya bahwa saya tidak pernah berhubungan (langsung) dengan psikolog atau psikiater. Saya mencari dan mengumpulkan informasi mengenai penyakit yang saya derita, hanya dari buku- buku psikologi dan dari artikel-artikel di majalah dan surat kabar.

Gejala-gejala manic depressive ini mulai aku rasakan dengan jelas saat aku duduk di bangku kelas satu SMA. Awalnya siklus depresi dan mania-nya belum terasa jelas, baik waktu maupun intensitas gangguannya, makin lama makin jelas terasa episode perubahannya. Episode depresinya berlangsung sekitar 7 hari. Setelah itu, digantikan oleh pasangannya, mania sekitar 14-20 hari. Kondisi ini berlangsung dan berulang- ulang selama sekitar 2 tahun. Saat itu (karena ketidaktahuanku) aku menganggap episode mania bukan sebagai gangguan tapi sebagai kondisi normal, karena aku merasa kondisi jiwaku seperti normal. Aku bisa melakukan aktivitas sehari-hariku seperti biasa, kadang dengan semangat yang meluap-luap.

Dalam episode mania ini aku merasa lebih berani dan percaya diri. Di sekolah aku lebih berani berbicara. Di ruang kelas saat kegiatan belajar-mengajar maupun dalam forum-forum diskusi aku lebih banyak bicara dan berani bertanya kepada guru. Pendek kata, kondisiku seperti normal, semuanya berjalan seperti biasa. Aku merasa seperti tak pernah dan tak sedang menderita gangguan jiwa. Setelah lebih kurang 14-20 hari berlalu, datanglah kembali masa depresi. Ibarat siang menjelang malam, terang berganti gelap. Suasana siang yang terang penuh cahaya segera berlalu, digantikan gelapnya malam yang sepi, sunyi dan mencekam. Semangat, gairah dan harapanku kembali meredup, diselimuti bayangan kelam yang menakutkan, muram dan mencemaskan. Seperti itulah gambaran suasana hatiku saat episode mania berakhir, digantikan oleh episode depresi.

Berikut akan aku coba jelaskan gejala-gajala yang aku rasakan saat episode depresi datang, gejala fisik maupun psikis.

Gejala pisik :
  • Kulit kepala seperti kering
  • Rambut terasa keras seperti dijambak
  • Kepala terasa pening
  • Jantung berdebar-debar
  • Tubuh terasa lelah, lemas dan kurang gairah
  • Ngantuk seperti kurang tidur

Gejala psikis :
  • Perasaan tidak enak
  • Diliputi rasa gelisah, cemas, bingung
  • Jika melihat atau bertemu seseorang (ayah, ibu, atau saudara) ada rasa sedih tanpa alasan yang jelas.
  • Kehilangan gairah dan semangat hidup
  • Berpikir negatif tentang masa lalu dan masa depan.
  • Sensitif dan mudah tersinggung
  • Dihantui mimpi-mimpi buruk saat tidur.

Jika episode depresi sudah datang, segala hal tampak buruk, mencemaskan, menyedihkan dan menakutkan. Hilanglah segala keceriaan dan kegembiraan, hilanglah harapan dan impian. Aku seperti memasuki dunia lain, dunia yang berbeda dari dunianya orang-orang yang normal. Selama masa depresi aku merasakan suasana hati yang pedih dan tersiksa. Tak ada apa pun yang bisa aku lakukan sepertinya untuk mengatasi situasi ini. Yang bisa aku lakukan hanya menunggu dan menunggu episode depresi ini berakhir. Menunggu datangnya mania. Kala mania datang, keadaan berbalik 180 derajat. Dunia tampak indah dan memesona. Semua orang seperti terseyum padaku. Apa yang aku lihat, aku dengar dan aku pikirkan terasa indah dan menyenangkan. Suara alam bagai alunan musik yang merdu, membangkitkan gairah dan semangat. Segala macam gejolak perasaan, seperti hilang begitu saja. Fase mania ini biasanya berlangsung sekitar 2-3 minggu. Aku selalu cemas dan khawatir saat hari-hari terakhir fase mania, karena tak lama lagi aku akan kembali memasuki suasana depresi yang mengerikan.





Halaman :   1 -  2 -  3 -  4 -  5 -  6 -  7 -  8 -  9 -  10 -  11 -  12 -  13 -  14 -  15 -  16



  Home  |  < halaman 9  |   halaman 11 >>
[ 10 ]